Sesungguhnya ada 6 Rukun Iman (Allah, 
Malaikat, Kitab Suci, Nabi, Hari Akhir, dan Qadla serta Qadar) dan 5 
Rukun Islam (Mengucapkan 2 kalimat Syahadah, Shalat 5 waktu, Puasa di 
bulan Ramadhan, Zakat, dan Haji jika mampu). Jika mengingkari salah 
satunya, misalnya tidak mau shalat, baru kita bisa mengatakan orang itu 
kafir. Atau mengaku ada Nabi setelah Nabi Muhammad.
Namun jika tidak, kita harus hati-hati 
dalam mengkafirkan seseorang. Karena dosanya besar. Jika yang dituduh 
tidak kafir, maka kitalah yang kafir.
Tuduhan KAFIR adalah tuduhan yang amat 
berat. Jika seorang suami dinyatakan kafir, maka dia harus diceraikan 
dari istrinya yang Muslim. Hubungan waris dengan keluarganya yang Muslim
 putus. Saat meninggal, tidak boleh disholatkan dan tidak boleh 
didoakan. Jadi tuduhan kafir bukan tuduhan yang main-main.
Ada kelompok Khawarij yang begitu mudah 
mengkafirkan seorang Muslim bahkan menghalalkan darahnya untuk dibunuh. 
Mereka menganggap hanya kelompok mereka saja yang paling benar. Para 
ulama sepakat bahwa kelompok Khawarij ini sudah keluar dari Islam. 
Semoga kita tidak terjebak dalam kelompok ini.
“Hai orang-orang yang beriman, 
apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan 
janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu
 (atau mengucapkan Tahlil): “Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu 
membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, 
karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu 
dahulu [dulu juga kafir], lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas 
kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu 
kerjakan. ” [An Nisaa' 94]
Tiga perkara berasal dari iman: (1) Tidak
 mengkafirkan orang yang mengucapkan “Laailaaha illallah” karena suatu 
dosa yang dilakukannya atau mengeluarkannya dari Islam karena sesuatu 
perbuatan; (2) Jihad akan terus berlangsung semenjak Allah 
mengutusku sampai pada saat yang terakhir dari umat ini memerangi Dajjal
 tidak dapat dirubah oleh kezaliman seorang zalim atau keadilan seorang 
yang adil; (3) Beriman kepada takdir-takdir. (HR. Abu Dawud)
Jangan mengkafirkan orang yang shalat karena perbuatan dosanya meskipun 
(pada kenyataannya) mereka melakukan dosa besar. Shalatlah di belakang 
tiap imam dan berjihadlah bersama tiap penguasa. (HR. Ath-Thabrani)
Dari Abu Musa r.a., katanya: “Saya 
berkata: “Ya Rasulullah, manakah kaum Muslimin itu yang lebih utama?” 
Beliau s.a.w. menjawab: “Yaitu yang orang-orang Islam lainnya merasa 
selamat daripada gangguan lisannya -yakni pembicaraannya- serta dari 
tangannya.” (Muttafaq ‘alaih)
Larangan membunuh orang kafir yang telah mengucapkan: Laa ilaaha illallah
Hadis riwayat Miqdad bin Aswad ra., ia berkata:
Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika aku bertemu dengan seorang kafir, 
lalu ia menyerangku. Dia penggal salah satu tanganku dengan pedang, 
hingga terputus. Kemudian ia berlindung dariku pada sebuah pohon, seraya
 berkata: Aku menyerahkan diri kepada Allah (masuk Islam). Bolehkah aku 
membunuhnya setelah ia mengucapkan itu? Rasulullah saw. menjawab: Jangan
 engkau bunuh ia. Aku memprotes: Wahai Rasulullah, tapi ia telah 
memotong tanganku. Dia mengucapkan itu sesudah memotong tanganku. 
Bolehkah aku membunuhnya? Rasulullah saw. tetap menjawab: Tidak, engkau 
tidak boleh membunuhnya. Jika engkau membunuhnya, maka engkau seperti ia
 sebelum engkau membunuhnya, dan engkau seperti ia sebelum ia 
mengucapkan kalimat yang ia katakan. (Shahih Muslim No.139)
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid r.a.: 
Rasulullah SAW. pernah mengirimkan kami dalam suatu pasukan (sariyyah); 
lalu pada pagi hari kami sampai ke Huruqat di suku Juhainah, di sana 
saya menjumpai seorang laki-laki, dia berkata, “La ilaha illallah – 
tiada tuhan selain Allah,” tetapi saya tetap menikamnya (dengan tombak),
 lalu saya merasakan ada sesuatu yang mengganjal di hati saya. Setelah 
sampai di Madinah, saya memberitahukan hal tersebut kepada Nabi SAW., 
lalu beliau bersabda, “Dia mengatakan, ‘La ilaha illallah’, kemudian 
kamu membunuhnya?” Saya berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh dia 
mengatakannya hanya kerana takut pada senjata.” Beliau bersabda, 
“Tidakkah kamu belah dadanya, lalu kamu keluarkan hatinya supaya kamu 
mengetahui, apakah hatinya itu mengucapkan kalimat itu atau tidak?” 
Demikianlah, beliau berulang-ulang mengucapkan hal itu kepada saya 
sehingga saya menginginkan seandainya saya masuk Islam pada hari itu 
saja. Sa’ad berkata, “Demi Allah, saya tidak membunuh seorang Muslim 
sehingga dibunuhnya oleh Dzul Buthain, maksudnya Usamah.” Lalu ada orang
 laki-laki berkata, “Bukankah Allah SWT. telah berfirman, Dan perangilah
 mereka supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk 
Allah (QS Al-Anfal (8): 39).” Lalu Sa’ad menjawabnya, “Kami sudah 
memerangi mereka supaya jangan ada fitnah, sedangkan kamu bersama 
kawan-kawanmu menginginkan berperang supaya ada fitnah.” (1: 67 – 68 – 
Sahih Muslim)
Dari Usamah bin Zaid ra, 
katanya: “Rasulullah s.a.w. mengirim kita ke daerah Huraqah dari suku 
Juhainah, kemudian kita berpagi-pagi menduduki tempat air mereka. Saya 
dan seorang lagi dari kaum Anshar bertemu dengan seorang lelaki dari 
golongan mereka -musuh-. Setelah kita dekat padanya, ia lalu 
mengucapkan: La ilaha illallah. Orang dari sahabat Anshar itu menahan 
diri daripadanya -tidak menyakiti sama sekali-, sedang saya lalu 
menusuknya dengan tombakku sehingga saya membunuhnya. Setelah kita 
datang -di Madinah-, peristiwa itu sampai kepada Nabi s.a.w., kemudian 
beliau bertanya padaku: “Hai Usamah, adakah engkau membunuhnya setelah 
ia mengucapkan La ilaha illallah?” Saya berkata: “Ya Rasulullah, 
sebenarnya orang itu hanya untuk mencari perlindungan diri saja -yakni 
mengatakan syahadat itu hanya untuk mencari selamat-, sedang hatinya 
tidak meyakinkan itu.” Beliau s.a.w. bersabda lagi: “Adakah ia engkau 
bunuh setelah mengucapkan La ilaha illallah?” Ucapan itu senantiasa 
diulang-ulangi oleh Nabi s.a.w., sehingga saya mengharap-harapkan, bahwa
 saya belum menjadi Islam sebelum hari itu -yakni bahwa saya 
mengharapkan menjadi orang Islam itu mulai hari itu saja-, supaya tidak 
ada dosa dalam diriku.” (Muttafaq ‘alaih) Dalam riwayat lain disebutkan:
 Lalu Rasulullah s.a.w. bersabda: “Bukankah ia telah mengucapkan La 
ilaha illallah, mengapa engkau membunuhnya?” Saya menjawab: “Ya 
Rasulullah, sesungguhnya ia mengucapkan itu semata-mata karena takut 
senjata.” Beliau s.a.w. bersabda: “Mengapa engkau tidak belah saja 
hatinya, sehingga engkau dapat mengetahui, apakah mengucapkan itu karena
 takut senjata ataukah tidak -yakni dengan keikhlasan-.” Beliau s.a.w. 
mengulang-ulangi ucapannya itu sehingga saya mengharap-harapkan bahwa 
saya masuk Islam mulai hari itu saja.
Dari Jundub bin Abdullah r.a. 
bahwasanya Rasulullah s.a.w. mengirimkan sepasukan dari kaum Muslimin 
kepada suatu golongan dari kaum musyrikin dan bahwa mereka itu telah 
bertemu -berhadap-hadapan. Kemudian ada seorang lelaki dari kaum 
musyrikin menghendaki menuju kepada seorang dari kaum Muslimin lalu 
ditujulah tempatnya lalu dibunuhnya. Lalu ada seorang dari kaum Muslimin
 menuju orang itu di waktu lengahnya. Kita semua memperbincangkan bahwa 
orang itu adalah Usamah bin Zaid. Setelah orang Islam itu mengangkat 
pedangnya, tiba-tiba orang musyrik tadi mengucapkan: “La ilaha 
illallah.” Tetapi ia terus dibunuh olehnya. Selanjutnya datanglah 
seorang pembawa berita gembira kepada Rasulullah s.a.w. -memberitahukan 
kemenangan-, beliau s.a.w. bertanya kepadanya -perihal jalannya 
peperangan- dan orang itu memberitahukannya, sehingga akhirnya orang itu
 memberitahukan pula perihal orang yang membunuh di atas, apa-apa yang 
dilakukan olehnya. Orang itu dipanggil oleh beliau s.a.w. dan menanyakan
 padanya, lalu sabdanya: “Mengapa engkau membunuh orang itu?” Orang tadi
 menjawab: “Ya Rasulullah, orang itu telah banyak menyakiti di kalangan 
kaum Muslimin dan telah membunuh si Fulan dan si Fulan.” Orang itu 
menyebutkan nama beberapa orang yang dibunuhnya. Ia melanjutkan: “Saya 
menyerangnya, tetapi setelah melihat pedang, ia mengucapkan: “La ilaha 
illallah.” Rasulullah s.a.w. bertanya: “Apakah ia sampai kau bunuh?” Ia 
menjawab: “Ya.” Kemudian beliau bersabda: “Bagaimana yang hendak kau 
perbuat dengan La ilaha illallah, jikalau ia telah tiba pada hari 
kiamat?” Orang itu berkata: “Ya Rasulullah, mohonkanlah pengampunan 
-kepada Allah- untukku.” Rasulullah s.a.w. bersabda: “Bagaimana yang 
hendak kau perbuat dengan La ilaha illallah, jikalau ia telah tiba pada 
hari kiamat?” Beliau s.a.w. tidak menambahkan sabdanya lebih dari 
kata-kata: “Bagaimanakah yang hendak kau perbuat dengan La ilaha 
illallah, jikalau ia telah tiba pada hari kiamat?” (Riwayat Muslim)
“Hai orang-orang yang beriman, 
janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, 
boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula
 sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang 
direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu 
sendiri[1409] dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung 
ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah 
iman[1410] dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah 
orang-orang yang zalim.” [Al Hujuraat 11]
[1409]. Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh.
[1410]. Panggilan yang buruk ialah gelar
 yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada 
orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: hai fasik, hai kafir
 dan sebagainya.
“Hai orang-orang yang beriman, 
jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari 
purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan 
janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu 
yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu 
merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
 Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” [Al Hujuraat 12]
Dari ayat di atas, sering orang suka 
mencari-cari kesalahan orang lain. Padahal kalau dia introspeksi, bisa 
jadi kesalahannya lebih banyak daripada orang yang dia cari.
Ash-Shahih (Shahih al-Bukhari), dari Tsabit bin adh-Dhahhak, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
“… Dan melaknat seorang Mukmin seperti membunuhnya. Siapa saja yang menuduh seorang Mukmin dengan kekafiran, maka ia seperti membunuhnya”.
“Barangsiapa yang berkata kepada
 saudaranya “hai kafir”, maka ucapan itu akan mengenai salah seorang 
dari keduanya.” [HR Bukhari]
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Bila seseorang mengkafirkan 
saudaranya (yang Muslim), maka pasti seseorang dari keduanya mendapatkan
 kekafiran itu. Dalam riwayat lain: Jika seperti apa yang dikatakan. 
Namun jika tidak, kekafiran itu kembali kepada dirinya sendiri”.[HR 
Muslim]
Dari Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa memanggil seseorang
 dengan kafir atau mengatakan kepadanya “hai musuh Allah”, padahal tidak
 demikian halnya, melainkan panggilan atau perkataannya itu akan kembali
 kepada dirinya”.[HR Muslim]
Janganlah kita mengkafirkan seorang 
Muslim hanya karena dia tidak mampu melaksanakan 100% dari perintah 
Allah dalam Al Qur’an. Itu bukan berarti dia kafir. Tapi karena memang 
manusia itu sifatnya lemah. Tempat salah dan lupa. Hanya Nabi yang mampu
 melaksanakan 100% perintah Allah. Hanya Nabi yang maksum/terlindung 
dari dosa. Kita semua niscaya tak lepas dari dosa. Jadi jangan seenaknya
 mengkafirkan sesama Muslim.
Saat jumhur Ulama telah sepakat bahwa 
satu kelompok seperti Ahmadiyyah atau Islam Liberal itu sesat, kita 
wajib tunduk dengan meyakini mereka sesat. Namun jika jumhur Ulama tidak
 menyatakan demikian, cuma segelintir dari kelompok ekstrim saja yang 
menyatakan sesat bahkan kafir, hendaknya kita tidak ikut-ikutan 
mengkafirkan mereka. Sebab jika ternyata pendapat mayoritas ulama benar,
 bahwa mereka tidak sesat/kafir, maka kitalah yang kafir. Jadi 
mengkafirkan sesama Muslim itu gampang. Tapi resikonya berat. Kita bisa 
kafir dan masuk neraka. Padahal jika kita ragu-ragu, kita tidak usah 
masuk kelompok tersebut, tapi juga tidak mengkafirkannya. Itu lebih aman
 dan bijak.
Ada banyak aliran sesat atau sempalan 
yang merasa kelompok mereka adalah Firqotun Najiyyah (golongan yang 
selamat) dari 73 golongan Islam seraya mengkafirkan mayoritas ummat 
Islam. Ummat Islam yg selamat adalah Ahlus Sunnah wal JAMA’AH. Artinya 
yg selamat JAMA’AH yang Banyak. Bukan FIRQOH/Pecahan kecil. Ini sesuai 
hadits Nabi. Jadi jika ada kelompok yang mengkafirkan mayoritas ummat 
Islam misalnya NU yang merupakan ormas Islam terbesar, bisa jadi 
kelompok itu yang sesat/kafir. Seandainya dalihnya adalah NU tak mau 
Negara Islam tegak, itu bukan seperti itu. Tapi karena yang mau 
menegakkan “Negara Islam” itu adalah justru kelompok Islam yang tidak 
benar/ekstrim. Bisa menindas/menzalimi ummat Islam lainnya. Jika 
Islamnya benar, akhlaknya benar, insya Allah ummat Islam yang baik tidak
 akan menolak Negara Islam:
Dari ‘Umar bin Khaththab ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ فَإِنَّ 
الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ وَمَنْ 
أَرَادَ بِحَبْحَةِ الْجَنَّةِ فَعَلَيْهِ بِالْجَماعَةِ
“Tetaplah bersama jamaah dan 
waspadalah terhadap perpecahan. Sesungguhnya setan bersama satu orang, 
namun dengan dua orang lebih jauh. Dan barang siapa yang menginginkan 
surga paling tengah maka hendaklah bersama jamaah.” [HR Ahmad, Tirmizi, 
dan Al Hakim]
عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم عَلَى ضَلاَلَةٍ
Tetaplah kalian bersama jamaah maka sesungguhnya Allah tidak menghimpun umat Muhammad di atas kesesatan.” [HR Thabrani]
Begitu juga hadits dari Anas bin Malik ra, ia berkata bahwa aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ أُمَّتِي لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ .
“Sesungguhnya, umatku tidak akan sepakat di atas kesesatan.” [Ibnu Majah dan Tirmizi]
HUKUM MENGKAFIRKAN SESAMA ISLAM!
I.  Asal Mula Takfir
Definisi takfir, yaitu memvonnis atau mensifati seseorang dengan  
kekafiran, atau mensifatinya dengan hukum kafir, baik dengan alasan yang
  benar ataupun tidak. Karena itu, takfir merupakan hukum syari'at yang 
 merupakan wewenang Allah dan Rasul-Nya, kita tidak boleh  
menolaknya.Tetapi masalah utamanya terletak pada sikap ekstrim dalam  
takfir (mengkafirkan), Karena itu, ada orang yang boleh dikafirkan, ada 
 juga yang tidak boleh dikafirkan.
Ada banyak sebab mengapa terjadi fitnah tentang masalah takfir, beberapa  diantaranya yaitu :
[1]. Semangat keagamaan yang ada pada para pemuda, namun tidak diimbangi  pemahaman terhadap syari’at.
[2]. Semangat buta ini dimanfaatkan oleh orang-orang/kelompok yang  
mengatasnamakan agama untuk kepentingan hawa nafsunya, dengan  
mengarahkan mereka untuk mengkafirkan sesama muslim
[3]. Campur tangan pihak yang memusuhi Islam yang memanfaatkan situasi  
ini dengan mengarahkan para pemuda itu untuk melakukan pentakfiran
II. Definisi Kafir dan Jenisnya
Kafir menurut bahasa bermakna menutupi, sehingga seorang yang murtad  
dari Islam disebut kafir karena dia telah menutupi kebenaran atau karena
  kekafirannya itu, dia menutupi apa yang seharusnya dia imani.
Kafir menurut syari‘at terbagi menjadi dua kategori, yaitu :
Pertama, Kafir akbar yang mengeluarkan seseorang dari Islam dan  menyebabkan pembuatnya kekal dalam neraka selama-lamanya.
Kafir akbar terbagi kepada 5 jenis:
a) Kafir Takzib (pendustaan)
Kekafiran jenis ini berbentuk mendustakan ajaran yang dibawa oleh para  
Rasul. Hati dan lisannya mengingkari ajaran para Rasul. Ini sebagaimana 
 firman Allah SWT :
Dan (Ingatlah) hari (ketika) kami kumpulkan dari tiap-tiap umat  
segolongan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami, lalu mereka  
dibagi-bagi (dalam kelompok-kelompok). Hingga apabila mereka datang,  
Allah berfirman: "Apakah kamu telah mendustakan ayat-ayat-Ku, padahal  
ilmu kamu tidak meliputinya, atau apakah yang telah kamu kerjakan?".  
(QS. An Naml : 83-84)
b) Kafir iba’ wal istikbar (keengganan dan kesombongan)
Kekafiran ini berbentuk pengakuan kebenaran ajaran Islam, tetapi tidak  
mau tunduk kepadanya karena kesombongan. Kekafiran ini adalah sama  
seperti kekafiran iblis. Iblis tidak menolak kebenaran Allah SWT sebagai
  Rabb yang berhak disembah dan dipatuhi perintah-Nya. Namun penentangan
  iblis disebabkan kesombongannya, sebagaimana yang telah diuraikan 
dalam  Al-Qur’an:
Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah  
kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan  
takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS. Al 
 Baqaráh : 34)
c) Kafir I’radh
Kekafiran ini berbentuk tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan  
Islam, tidak mencintainya dan tidak memusuhinya serta sama sekali tidak 
 mau memperhatikan dan mendengarkannya. Ini disebutkan dalam Al Qur'an :
Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab,  
untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa
  peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau 
mendengarkan.  .(QS. Fushshilat : 3-4)
d) Kafir Syak (keraguan)
Ini adalah golongan yang senantiasa ragu akan kebenaran Islam
e) Kafir Nifaq
Kekafiran seperti ini menampakkan keimanan dengan lisan dan perbuatan  
namun hatinya kafir (orang munafiq), sebagaimana yang difirmankan oleh  
Allah SWT :
Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan  
hari kemudian," padahal mereka sesungguhnya bukan orang-orang yang  
beriman. (QS.Al Baqarah : 8)
Kedua, Kafir ashgar, tidak mengeluarkan dari Islam meskipun diistilahkan
  kufur. Hal ini terjadi jika seseorang tidak melakukan suatu perintah  
agama, akan tetapi dia tetap menyakini akan kewajiban perintah tersebut.
  Contohnya adalah orang yang menyakini kewajiban membayar zakat harta, 
 tetapi karena sibuk mengejar kehidupan duniawi dia tidak membayar zakar
  tersebut.
Demikian juga, bila seseorang itu tidak meninggalkan suatu larangan  
agama, tetapi dia tetap menyakini akan haramnya hal tersebut. Contohnya 
 orang yang menyakini haramannya hukum khamr, tetapi karena kebiasaannya
  minum sekian lama, dia sulit mengubahnya secara langsung melainkan  
secara bertahap
Berkata Imam Abu Hanifah rahimahullah dalam kitab Fiqh al-Akbar :
Kita tidak boleh mengkafirkan seorang muslim dengan setiap dosa,  
meskipun dosa besar. Kecuali ada unsur menganggap halal maksiat itu.  
Kita juga tidak menghilangkan akar iman darinya, dia masih disebut orang
  beriman secara hakiki atau seorang mukmin yang fasik (tetapi) tidak  
kafir.
Menurut Imam Abu Ja’afar al-Thahawi rahimahullah:
Kita tidak mengkafirkan seorangpun ahlul kiblat karena dosa-dosa yang  
dilakukan, selama dia tidak menghalalkan perbuatan dosa tersebut.
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz melanjutkan:
Namun apabila pembuatnya menganggap halal perbuatannya, maka mereka  
termasuk kafir karena statusnya telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya  
serta keluar dari agama. Apabila mereka tidak menganggap halal perbuatan
  dosanya, maka mereka tidak dikafirkan, tetapi mereka dianggap seorang 
 yang lemah imannya...
Hal ini termasuk tindakan kebanyakan pemerintah Muslim saat ini yang  
tidak melaksanakan hukum Allah. Berkata Imam Ibnu Abil ‘Izzi ‘Abdis  
Salaam dalam kitab Syarhul Aqidah ath-Thahawiyah :
...bahwa berhukum dengan selain yang diturunkan Allah kadang-kadang bisa
  menjadi kafir yang mengeluarkan pembuatnya dari Islam (kafir akbar) 
dan  kadang-kadang bisa menjadi maksiat . Hal itu disesuaikan dengan 
keadaan  pelaksana hukum itu.
Jika dia meyakini bahwa berhukum dengan selain yang diturunkan Allah  
adalah tidak wajib padahal dia diberi kebebasan (untuk berhukum  
dengannya) atau dia menghina hukum Allah, maka ini adalah kafir akbar.
Syaik Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash-Shalah menuturkan, kufur terbagi dua  jenis, yaitu :
1.Kufur yang mengeluarkan dari agama, yaitu kufur yang berlawanan dengan
  iman dalam semua aspek. Orang seperti ini harus dinasihati dan jika  
menolak maka baru divonis sebagai kafir
2.Kufur yang tidak mengeluarkan dari agama, yaitu kufur yang tidak  mengeluarkan dari agama namun termasuk perbuatan maksiat.
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,  
Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS. Al Maidah : 44)
III. Syarat Pengkafiran
Pertama: Baligh dan berakal.
Orang yang belum baligh dan orang yang tidak sempurna akalnya tidak  dijatuhkan hukuman. Ini berdasarkan sabda Nabi SAW:
Diangkat pena (tidak dicatat kesalahan) dari tiga orang, yaitu anak  
kecil hingga baligh, orang tidur hingga terbangun dan orang gila hingga 
 sadar. (HR. Abu Dawud)
Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni berkata:
Hukum murtad tidak berlaku bagi orang yang tidak berakal seperti anak  
kecil, orang gila, atau orang yang hilang kesedaran akibat pingsan,  
tidur, sakit, dan minum obat yang boleh diminum.
Kedua: Perbuatan kafir dilakukan dengan sengaja.
Ucapan atau perbuatan yang membawa kepada kekafiran hendaklah dilakukan 
 dengan kerelaan hati atau kehendak sendiri. Ia bukan satu perbuatan 
yang  terpaksa, tak sengaja atau di luar kesadaran. Allah SWT berfirman:
dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi 
 (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah 
Maha  Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al Ahzab : 5).
Ketiga: Diberikan nasihat kepadanya
Tidak boleh menghukumi kafir terhadap seseorang selagi belum disampaikan
  informasi/nasihat kepadanya bahwa perbuatannnya bisa mengakibatkan  
kekafiran. Berkata Imam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa :
Ucapan (yang mengakibatkan) kafir mungkin saja datang dari orang yang  
belum sampai kepadanya nash (hujah dan dalil) untuk mengenali kebenaran.
  Atau boleh jadi telah sampai (nash tersebut) tetapi hujah tersebut  
dipandang tidak benar atau belum mungkin baginya untuk memahaminya atau 
 ada syubhat dalam proses memahami kebenaran. Maka dalam kondisi seperti
  ini Allah memaafkan……
Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman:
dan kami tidak akan meng'azab sebelum kami mengutus seorang rasul (QS.  Al Isra : 15)
(mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi
  peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah  
sesudah diutusnya rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi  
Maha Bijaksana (QS. An Nisaa : 165)
Syarat yang ketiga ini penting, karena muslim minoritas yang tinggal di 
 sebuah negara mayoritas non muslim. Sulit untuk mereka mempelajari  
ilmu-ilmu Islam karena jauh dari ulama’, Maka orang Islam minoritas ini 
 tidak dihukumkan kafir jika melakukan perbuatan yang asalnya bisa  
membawa kepada kekafiran.
Ini karena Allah Subhanahu wa Ta‘ala telah berfirman:
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah  
serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu[1480]. dan 
 barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, Maka mereka Itulah 
 orang-orang yang beruntung. (QS. Ath Taghabuun : 16)
Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, kami 
 tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar  
kesanggupannya, mereka Itulah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di  
dalamnya. (QS. Al A'raaf : 42)
Berdasarkan ayat-ayat di atas, Allah tidak membebani seseorang melebihi 
 kemampuannya. Karena itu jika seseorang itu telah berusaha maksimal  
untuk mencari kebenaran dalam Islam namun masih terdapat kekurangan atau
  kesalahan tanpa disengaja sehingga dia melakukan perbuatan yang kafir,
  maka Allah tidak akan menghukumnya, tetapi mengampuni kesalahannya.
Keempat: Perbuatan diukur dari segi zahirnya.
Setiap muslim diadili berdasarkan apa yang terlihat pada zahir dirinya.  Adalah hadits berikut dari Usamah bin Zaid ra. :
Rasulullah SAW pernah membawar kami pada satu peperangan, pada pagi hari
  kami menyerbu al-Huraqaat (nama sebuah kabilah) dari kabilah Juhainah.
  Maka aku bertemu dengan seorang lelaki lalu dia berkata: “Laa ilaha  
illallah” kemudian aku menusuknya (membunuhnya). Akan tetapi aku merasa 
 ada sesuatu dalam hatiku dari kejadian itu, lalu aku menceritakannya  
kepada Rasuliullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka baginda berkata:  
“Apakah dia telah mengatakan Laa ilaha illallah kemudian kamu  
membunuhnya?” Aku menjawab: “Ya wahai Rasulullah, sesungguhnya dia  
mengatakan hal itu hanya karena takut kepada pedangku. Baginda bertanya 
 (menegaskan kesalahan tindakan Usamah): “Mengapa kamu tidak membelah  
dadanya sehingga kamu mengetahui apakah benar-benar dia mengatakannya  
(dengan jujur) atau tidak?”. (HR. Muslim)
Berdasarkan hadits di atas, maka sewajarnya kita tidak memudahkan dalam 
 mengkafirkan orang lain selagi zahirnya masih menunjukkan bahwa dia  
seorang muslim.Ini sebagaimana pesan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
Akan ada sepeninggalku nanti pemimpin (yang) kalian mengenalnya dan  
mengingkari (kezalimannya), maka barangsiapa mengingkarinya (berarti)  
dia berlepas diri dan barangsiapa membencinya (berarti) dia selamat.  
Akan tetapi barangsiapa yang meridhainya (berarti) mengikutinya. Para  
sahabat bertanya: “Apakah tidak kita perangi mereka (pemimpin  
tersebut)?” Baginda menjawab: “Jangan, selagi mereka masih shalat.” (HR.
  Muslim)
Kelima: Kekafiran memiliki cabang-cabangnya.
Sebagaimana iman memiliki cabang-cabangnya, kekafiran juga memiliki  
cabang-cabangnya. Di antara cabang-cabang kekafiran ada yang bisa  
menyebabkan pelakunya keluar dari Islam dan ada yang tidak. Contohnya  
mengatakan Nabi Isa as. adalah anak tuhan atau tuhan itu bertiga  
(Trinity) jelas mengeluarkan pelakunya dari Islam. Sedangkan peminum  
arak atau penzina hanya dihukumi sebagai seorang yang fasiq (pelaku dosa
  besar),
IV. Dampak dan Bahaya Takfir
1.Takfir (kafir mengkafir) membawa akibat yang amat buruk terhadap  
kesatuan umat, dan bisa menyebabkan terjadinya pertumpahan darah sesama 
 muslim. Maka dari sisi syari‘at Islam, ada beberapa hal yang perlu  
diperhatikan jika seseorang dinyatakan kafir :
1.Isterinya tidak dihalalkan lagi bagi dirinya (yang telah kafir),  
diharamkan untuk isterinya berada di sampingnya dan anak-anaknya berada 
 dibawah perwaliannya.
2.Bagi yang telah dituduh kafir, maka seharusnya dia dibawa ke muka  
pengadilan dan dijatuhkan hukum murtad ke atasnya setelah diajukan  
hujjah dan bukti keterangan akan kekafirannya.
3.Bagi mereka yang telah jatuh kafir, apabila mereka meninggal dunia  
maka tidak berlaku lagi hukum-hukum yang diwajibkan ke atas seorang  
muslim seperti dimandikan jenazahnya, disembahyangkan jenazahnya,  
mayatnya tidak boleh dikuburkan di kawasan perkuburan Islam dan hartanya
  tidak dapat diwarisi oleh ahli keluarganya.
Syaikh Abdil Aziz bin Abdullah bin Bazz rahimahullahu berkata,  
sebagaimana termuat dalam harian al-Jazirah, ar-Riyadh, asy-Syirqul  
Awsath, Sabtu 22/6/1412 H. tentang bahaya takfir, diantaranya :
1.Merusak hak-hak kaum muslimin
2.Memecah belah ukhuwah Islamiyyah, padahal Alloh SWT memerintahkan  ukhuwah dan menjauhi perpecahan
3.Membantu dan menolong orang/kelompok yang menyimpang seperti kaum  
yahudi, nashrani, atheis, sekuler, hedonis, paganis dan lainnya yang  
selalu memerangi kaum muslimin.
4.Menyebabkan rusaknya hati dengan menyebarkan dan mengedarkan dusta dan
  kebathilan, sehingga terjadi ghibah, namimah, tajassus, hasad dan  
ghadab.
5.Terpedaya tipuan syetan
6.Tidak menghormati ulama yang telah berijtihad dengan kadar keilmuan  yang cukup
Menyadari betapa bahayanya dampak takfir, maka Islam melarang keras hal  ini. Firman Alloh SWT :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki  
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih  
baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan  
kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan  
janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan  
gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah  
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat,
  Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim (QS. Al Hujurat : 11)
Takfir termasuk kezaliman yang membinasakan. Nabi SAW bersabda :
Tidak boleh seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan dan tidak pula
  dia menuduhnya dengan kekafiran, melainkan hal ini akan kembali  
kepadanya jika orang yang tertuduh tidak demikian (HR. Bukhari)
Apabila seseorang mengatakan kepada saudaranya, “Wahai Kafir!”, maka hal
  ini akan kembali kepada salah seorang daripada kedua-duanya (HR.  
Bukhari)
Imam al-Ghazali telah berkata dalam kitabnya Al-Iqtishad fil ’tiqad:
Sesuatu yang patut kita berhati-hati adalah masalah pengkafiran, selagi 
 masih ada jalan untuk berhati-hati. Karena menghalalkan darah dan harta
  orang yang shalat menghadap kiblat dan yang menyatakan kalimat “Laa  
ilaaha illalloh” adalah suatu kesalahan.
Mengkafirkan seorang muslim yang lain diumpamakan dengan membunuhnya,  
sebagaimana dikatakan oleh Al ‘Alla’ bin Ziyad, seorang tabi’in :
“Tidak ada bedanya antara kamu mengkafirkan seorang muslim dengan  membunuhnya"
1.Mengkafirkan muslim yang lain merupakan hal yang serius, sebagaimana  dijelaskan Imam Ibnu Abil ‘Izzi ‘Abdis Salam al-Hanafi:
Ketahuilah –semoga Allah merahmati kamu- bahwa masalah pengkafiran  
merupakan masalah yang sangat besar fitnah dan musibahnya, banyak  
perpecahan yang terjadi di dalamnya, berselisihnya hawa nafsu dan  
pendapat tentangnya dan telah terjadi pertentangan antara alasan-alasan 
 mereka…… Sesungguhnya sebesar-besar bentuk kejahatan adalah menuduh  
individu tertentu bahwa Allah tidak akan mengampuninya dan tidak akan  
merahmatinya, bahkan Allah akan mengekalkannya dalam neraka (karena yang
  demikian adalah) hukum bagi orang kafir setelah mati.
Kesimpulannya, jika dalam diri seseorang itu terdapat beberapa ciri  
kekafiran, sikap kita bukanlah mengkafirkannya tetapi berusaha mencari  
jalan agar dia terhindar darinya. Berilah nasihat dan bukalah ruang  
untuk berfikir dan memperbaiki diri, sekalipun secara bertahap. Firman  
Allah SWT :
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang
  baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu 
 dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
  dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.  
(QS. An Nahl : 125)
V. Cara Menghindari Pentakfiran
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr memberi nasihat :
Pertama, Hendaknya ia merasa takut kepada Allah, dengan menyibukan diri 
 melihat aib-aibnya, dari pada ia sibuk denga aib orang lain, dan 
menjaga  keberlangsungan amal shalehnya, jangan sampai ia membuangnya 
sia-sia.
Kedua, Hendaklah ia menyibukan dirinya dengan mencari ilmu yang  
bermanfaat, diantara belajar, mengajar, berda'wah dan menulis. Jika ia  
mampu melakukan hal yang demikian maka hendaknya ia menjadi golongan  
yang membangun, dan tidak menyibukkan dirinya dengan mencela sesama  
muslim sehingga ia menjadi golongan penghancur.
Sumber :
1.Al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, edisi terjemahan terbitan Jahabersa, Johor  Bahru 2001
2.Aqwalu wa Fatawa Ulama fi tahdzir 'ala Jama'atil Hajr wat Tabdi, alih  bahasa oleh Abu Salma bin Burhan.
3.Bahaya tafsiq, takfir dan tabdi', Sholih bin Fauzan al-Fauzan, Pustaka  Imam Bukhori.
4.Kafirkah Orang Yang Berhukum Dengan Selain Hukum Allah?, Dr. Khalid  
bin Ali bin Muhammad al- Anbary, alih bahasa oleh Abu Abdirrahman  
al-Salafy, Pustaka As-Sunnah, Surabaya 2004
5.Manhaj Ahli Sunnah Menghadapi Ahli Bid’ah, Dr. Ibrahim bin Amir  
ar-Ruhaili, alih bahasa oleh Abu Ahmad Syamsuddin, Pustaka al-Kautsar,  
Jakarta 2002
6.Rifqon Ahlas Sunnati bi Ahlis Sunnah, alih bahasa oleh Abul Hasan  al-Maidani , judul Berlemah Lembut Sesama Ahlus Sunnah
7.Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425H/2005M Rubrik Liputan  
Khusus yang diangkat dari ceramah Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied  
Al-Hilali Tanggal 5 Desember 2004 di Masjid Istiqlal Jakarta
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar