Apa Dan Bagaimana Thoharoh (Cara Bersuci)?
 Secara ,bahasa ath-thaharah maknanya ialah kesucian dan 
kebersihan dari segala yang tercela, baik dhahir maupun batin (Lihat 
Syarah Shahih Muslim lin Nawawi juz 3 hal. 455 dan Tuhfatul Ahwadzi 
Syarah Sunan At-Tirmidzi , Al-Mubarakfuri jilid 1 hal. 18). Sedangkan 
makna ath-thaharah dalam istilah fiqh ialah hilangnya perkara yang 
menghalangi sahnya shalat. Dan perkara yang menghalangi sahnya shalat 
itu ialah hadats atau najis. Sedangkan
 menghilangkan hadats atau najis itu dengan air atau debu. (Lihat 
Al-Mughni fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hanbal , Ibnu Qudamah, jilid 1 hal. 
21).
Hadats
 itu ialah kondisi seorang Muslim yang sedang batal wudlunya karena 
keluarnya sesuatu dari dua jalan (yaitu jalan kemaluan depan yang 
diistilahkan dengan qubul dan jalan kemaluan belakang yang diistilahkan 
dengan dubur ), atau batalnya wudlu karena berhubungan badan antara 
suami dengan istri, yaitu ketika kemaluan pria telah masuk ke kemaluan 
wanita walaupun tidak keluar mani, maka batal pula wudlunya. Sehingga 
bila seseorang itu dikatakan ber hadats , maknanya ialah bila dia telah 
batal wudlunya karena sebab-sebab tersebut.
Jadi
 ath-thaharah itu menurut istilah fiqh maknanya ialah bila seorang 
Muslim telah bersih dari hadats dan najis sehingga secara dhahir dapat 
menunaikan shalat sebagaimana mestinya.
BEBERAPA KETENTUAN DI SEPUTAR HADATS
Istilah
 hadats telah dikenal para ahli fiqh yang diambil dari antara lain sabda
 Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sebagaimana berikut ini:
Dari
 Abu Hurairah radliyallahu `anhu , beliau berkata: Rasulullah 
shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Tidak diterima shalatnya orang 
yang ber hadats sehingga dia berwudlu.” Berkata seseorang dari 
Hadramaut: “Apakah yang dimaksud hadats itu wahai Abu Hurairah?” Beliau 
menjawab: “Ialah keluar angin atau kentut.” (HR. Bukhari dalam Kitab 
Shahih nya, Kitabul Wudlu’ bab La Tuqbalus Shalatu bi Ghairi Thahur 
hadits ke 135)
Ibnu
 Hajar Al-Aqalani rahimahullah menerangkan: “Yang dimaukan dengan hadats
 ini ialah apa saja yang keluar dari dua jalan ( qubul dan dubur ). Abu 
Hurairah menafsirkan dengan secara khusus demikian adalah karena ingin 
memberikan peringatan tentang terjadinya hadats yang paling ringan, 
karena keluar angin atau ketut itu adalah hadats yang paling sering 
terjadi ketika dalam shalat. Dan adapun jenis hadtas yang lainnya telah 
diterangkan oleh para ulama, seperti menyentuh kemaluan, menyentuh 
perempuan, muntah sepenuh mulut, berbekam. Bisa jadi Abu Hurairah 
menerangkan demikian karena beliau tidak memandang hadats itu kecuali 
karena sesuatu yang keluar dari dua jalan sehingga hal-hal yang 
diterangkan para ulama tersebut tidak termasuk dalam perkara hadats . 
Demikian pula Al-Bukhari sependapat dengan Abu Hurairah.” ( Fathul Bari ,
 Ibnu Hajar al-Asqalani, jilid 1 hal. 235)
Para ulama menerangkan bahwa hadats itu ada dua:
1). Al-Hadatsul Asghar , yakni hadats kecil yang meliputi segenap pembatal wudlu, yang hanya dihilangkan dengan berwudlu saja.
2).
 Al-Hadatsul Akbar , yakni hadats besar yang meliputi segenap pembatal 
wudlu yang harus dihilangkan dengan mandi yang disertai wudlu padanya 
dan mandi yang demikian ini dinamakan mandi junub.
Tetapi
 kemudian yang masyhur, hadats itu ialah pembatal-pembatal wudlu yang 
hanya dihilangkan dengan berwudlu saja atau yang dinamakan al-hadatsul 
ashgar ( hadats kecil). Sedangkan al-hadatsul akbar sering disebut 
junub, haidl atau nifas. (Lihat Mushannaf , Al-Imam Abdurrazaq bi Hammam
 As-Shan`ani, jilid 1 hal. 138 bab Al-Wudlu’ minal Hadats ).
KEUTAMAAN THAHARAH
Setelah
 kita mengerti perkara najis dalam pembahasan yang lalu dan perkara 
hadats , maka perlu juga kita mengerti keutamaan ath-thaharah di sisi 
Allah Ta`ala terutama dalam kaitannya dengan ibadah kepada Allah Ta`ala.
 Kita dapati antara lain firman Allah di dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya
 Allah mencintai orang-orang yang banyak bertaubat dan orang-orang yang 
melakukan amalan thaharah (bersuci).” ( Al-Baqarah : 222)
Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Berthaharah
 itu (yakni bersuci itu) adalah separoh dari iman.” (HR. Muslim dalam 
Shahih nya, Kitabut Thaharah hadits ke 223 dari Abi Malik Al-Asy’ari 
radliyallahu `anhu ).
Dan beliau shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Kuncinya
 shalat itu ialah ber thaharah , dan pengharamannya (yakni mulai 
diharamkan berbicara dalam shalat) ialah takbir (yaitu takbir permulaan 
shalat atau dinamakan takbiratul ihram), dan penghalalannya ialah salam 
(yakni halal kembali berbicara setelah berakhirnya shalat dengan 
mengucapkan salam).” (HR. Tirmidzi dalam Sunan nya dari Ali. Abu Isa 
(yakni At-Tirmidzi) berkata: “Hadits ini paling shahih dan paling baik 
dalam bab ini.”).
BENDA-BENDA YANG TIDAK TERGOLONG NAJIS
Kita
 telah membahas sebelum ini satu kaidah bahwa hukum asal segala benda 
itu adalah tidak najis kecuali bila ada keterangan dari Al-Qur’an dan 
Al-Hadits bahwa benda itu najis, barulah kita menganggapnya najis. 
Tetapi dalam pembahasan ini perlu pembaca sekalian memahami bahwa ada 
beberapa benda yang sesungguhnya tidak najis, tetapi oleh banyak orang 
dianggap najis. Benda-benda yang tidak tergolong najis itu ialah:
1).
 Air mani manusia Muslim. Air mani merupakan pengecualian dari ketentuan
 tentang najisnya segala perkara yang keluar dari dua jalan, walaupun 
keluarnya mani menyebabkan batalnya wudlu. Yang demikian ini karena 
adanya beberapa riwayat Aisyah Ummul Mukminin radliyallahu `anha tentang
 tidak najisnya air mani seorang Muslim. Aisyah menyatakan:
“Sungguh
 aku pernah melihat mani kering di baju Rasulullah shallallahu `alaihi 
wa sallam dan aku mengeriknya dalam keadaan kering itu dengan kukuku.” 
(HR. Muslim dalam Shahih nya Kitabut Thaharah bab Hukmul Mani hadits ke 
290 dari Abdillah bin Syihab Al-Khaulani).
Al-Imam
 An-Nawawi rahimahullah menerangkan: “Dan banyak dari para ulama 
berpendapat bahwa mani itu adalah suci. Telah diriwayatkan yang demikian
 ini adalah pendapatnya Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqas, Ibnu 
Umar, Aisyah, Daud (yakni Adl-Dlahiri), Ahmad (yakni: bin Hanbal) dalam 
riwayat yang shahih dari dua riwayat tentang pendapat beliau, dan yang 
demikian ini pula merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’i dan juga pendapat 
para Ahli Hadits.” ( Syarah Shahih Muslim lin Nawawi juz 3 hal. 530).
2).
 Kotoran dan air kencing hewan yang dagingnya halal dimakan. Seperti 
kotoran dan kencing kambing, sapi, unta dan lain-lainnya. Karena 
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan kepada 
orang-orang Uraniyyin (yakni orang-orang dari suku Urainah) untuk 
berobat dari penyakit perut yang dideritanya dengan minum air kencing 
unta dan air susunya. Demikian diriwayatkan oleh Anas bin Malik dalam 
Shahih Bukhari Kitabul Wudlu’ bab Abwabil Ibil wad Dawab hadits ke 233. 
Juga Anas meriwayatkan sebagaimana dalam Shahih Bukhari hadits ke 234 
bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat di tempat tambatan
 kambing sebelum dibangunnya masjid beliau di Madinah. Maka dua riwayat 
tersebut menunjukkan bahwa kencing unta bukanlah benda najis, sebab 
kalau ia adalah benda najis, tidak mungkin dijadikan obat oleh beliau, 
karena beliau tidak akan menjadikan sesuatu yang najis atau haram untuk 
dijadikan obat. Demikian pula tentang air kencing dan kotoran kambing, 
bila dianggap najis maka tidak mungkin beliau shalat di tempat tambatan 
kambing. Cukuplah alasan menunjukkan tidak najisnya kotoran dan air 
kencing kambing. Sehingga dipahami dari dua riwayat tersebut bahwa hewan
 yang oleh Allah Ta`ala dagingnya halal dimakan, maka air kencing dan 
kotorannya tidaklah najis.” (Lihat Majmu’ Fatawa , Ibnu Taimiyah jilid 
21 hal. 534 – 587).
3).
 Bekas air mandi dan air wudlu seorang Muslim pria maupun wanita 
tidaklah najis. Demikian pula bersalaman dengan seorang Muslim yang 
sedang dalam keadaan junub, tidak pula najis. Karena adanya penegasan 
yang demikian dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam :
“Hanyalah
 seorang Muslim itu tidaklah najis.” (HR. Muslim dalam Shahih nya 
Kitabul Haidl bab Ad-Dalil `ala `Annal Muslima la Yanjus dari Hudzaifah 
hadits ke 372)
Dari
 Ibni Abbas radliyallahu `anhuma , dia berkata: Bahwa sesungguhnya 
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mandi dengan air bekas mandinya
 Maimunah.” (HR. Muslim dalam Shahih nya Kitabul Haidl hadits ke 323).
4).
 Darah atau nanah yang keluar dari tubuh seorang Muslim dan darah itu 
bukan keluar dari qubul ataupun dubur , maka darah ini juga tidak 
teranggap najis. Karena telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan 
nya bahwa seorang shahabat Nabi dari kalangan Anshar ketika sedang 
menjaga suatu lembah dari serangan musuh, dia menyibukkan diri dengan 
shalat. Ketika itu dia terkena panah musuh dalam keadaan shalat dan 
mengalirlah darah dari luka yang dideritanya. Shahabi tersebut tidak 
membatalkan shalatnya, yang berarti menunjukkan bahwa darah yang keluar 
dari selain dua jalan, tidaklah dianggap najis dan tidak membatalkan 
wudlu. (Lihat Sunan Abi Dawud Kitabut Thaharah bab Wudlu’ minad Dam 
hadits ke 198 dari Jabir radliyallahu `anhu . Juga lihat Syarhus Sunnah 
Al-Baghawi Kitabul Haidl bab Man Shalatahu Addam riwayat ke 330 jilid 1 
hal. 425 – 426).
5).
 Sesuatu yang keluar dari mulut karena muntah atau pun ingus atau ludah 
seorang Muslim juga tidak dianggap najis. Al-Imam Ibnu Hazmin 
rahimahullah menerangkan: “Alasan bagi kami bahwa tidak ada kewajiban 
wudlu ketika terkena perkara-perkara tersebut ialah karena tidak ada 
keterangan dalam Al-Qur’an dan tidak pula dalam hadits. Bahkan tidak ada
 dalam ijma’ (kesepakatan para shahabat Nabi) yang mewajibkan orang 
untuk berwudlu karenanya.” ( Al-Muhalla , Ibnu Hazm, jilid 1 hal. 236 
masalah ke 169)
CARA BERTHAHARAH DARI NAJIS ATAU PUN HADATS
Alat
 ber thaharah (yakni bersuci) dari najis atau hadats itu ialah dengan 
air yang suci dari najis. Sedangkan air yang suci dari najis itu ialah 
air yang tidak terdapat padanya warna atau pun bau najis. Allah Ta`ala 
menegaskan tentang kedudukan air sebagai alat untuk bersuci dari najis 
dan hadats :
“Dan Kami turunkan air dari langit sebagai alat bersuci.” ( Al-Furqan : 48)
Juga firman-Nya:
“Dan
 Allah turunkan air dari langit kepada kalian agar Dia mensucikan kalian
 dengannya dari najis dan agar menghilangkan was-was syaithan.” ( 
Al-Anfal : 11)
Diriwayatkan sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang masalah air untuk bersuci ini:
Dari
 Rasyid bin Sa’ad dari Abu Umamah dari Nabi shallallahu `alaihi wa 
sallam beliau bersabda: “Sesungguhnya air itu sifatnya suci dan 
mensucikan kecuali bila berubah baunya, atau rasanya, atau warnanya 
dengan benda najis yang jatuh ke dalamnya.” (HR. Al-Baihaqi dalam 
Sunanul Kubra jilid 1 hal. 260).
Maka
 dengan demikian, air itu tetap pada fungsinya sebagai alat be rthaharah
 dari najis dan hadats selama tidak ada bau benda najis padanya, atau 
selama tidak ada padanya warna dari warna benda najis.
Adapun
 cara be rthaharah dari benda najis itu ialah dengan mengalirkan air 
pada bagian yang terkena najis hingga hilang bekas-bekas najis padanya. 
Dan bekas-bekas najis itu ialah bau, warna dan rasanya. Hal ini 
dicontohkan oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dalam suatu 
peristiwa berikut ini:
Dari
 Anas, dia berkata: Telah datang seorang Arab dari pegunungan, kemudian 
dia kencing di salah satu pojok masjid. Maka orang-orang pun 
menghardiknya, dan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melarang 
mereka untuk menghardiknya. Maka ketika orang gunung itu telah selesai 
dari kencingnya, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan 
untuk diambilkan seember air dan kemudian air itu dituangkan pada tempat
 yang dikencingi oleh orang gunung itu.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam 
Shahih keduanya)
Rasulullah
 shallallahu `alaihi wa sallam menuntunkan cara membersihkan najis 
dengan cara menyiramkan air padanya adalah karena masjid beliau waktu 
itu lantainya berupa tanah berpasir, sehingga dengan disiram air 
sebanyak itu, akan hilang bau dan bekas najis yang lainnya. Adapun bila 
air kencing itu mengena pada lantai, maka air kencing yang membasahi 
lantai itu haruslah dilap dulu dengan lap kering dan tidak digosokkan 
lap itu di lantai tersebut pada tempat di sekitarnya agar najis itu 
tidak menyebar pada tempat yang lebih luas. Setelah itu lap yang dipakai
 mengeringkan lantai dari air kencing atau kotoran atau pun najis yang 
lainnya itu dibasuh dengan air bersih sehingga benar-benar diyakini 
bahwa najis yang ada pada lap itu telah tiada karena bekas-bekasnya 
telah hilang. Kemudian lantai itu pun dibasuh lagi dengan lap basah yang
 telah suci dari najis, kemudian lap itu dibasuh lagi dengan air bersih,
 berulang-ulang dua atau tiga kali sehingga diyakini bahwa bekas-bekas 
najis di lantai itu telah hilang. Demikian pula mencuci kain yang 
terkena najis, dengan cara mencucinya dengan air bersih sampai 
bekas-bekas najisnya hilang. Tetapi bila sudah dicuci dengan 
sungguh-sungguh kain itu namun sebagian bekas najisnya masih belum 
hilang, maka yang demikian ini tidaklah mengapa. Hal ini telah 
diterangkan dalam riwayat berikut ini:
Dari
 Abu Hurairah radliyallahu `anhu bahwa Khaulah bintu Yasar pernah 
mendatangi Nabi shallallahu `alaihi wa sallam . Maka dia pun bertanya 
kepada beliau: “Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki baju kecuali hanya 
sepotong saja yang aku pakai ketika dalam keadaan haidl, maka bagaimana 
pula yang harus aku lakukan?” Beliau menjawab: “Apabila telah berhenti 
haidl-mu, maka cucilah baju itu.” Khaulah bertanya lagi: “Bagaimana 
kalau bekas darahnya tidak bisa hilang dengan dicuci?” Beliau menjawab: 
“Cukup bagimu dengan dicucinya darah yang mengena baju itu. dan tidak 
mengapa bekas darah haidl yang tidak bisa hilang itu.” (HR. Abu Dawud 
Kitabut Thaharah bab Keterangan tentang Wanita yang Mencuci Bajunya yang
 Dipakainya ketika Haidl , hadits no. 365)
Sedangkan
 cara bersuci dari hadats kecil ialah dengan berwudlu, dan cara bersuci 
dari hadats besar ialah dengan mandi junub, yang dinamakan juga mandi 
wajib.
MENCUCI BEJANA YANG DIJILAT ANJING
Islam
 memberi tuntunan dalam perkara jilatan anjing ini dengan cara pencucian
 yang khusus. Yaitu sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah 
shallallahu `alaihi wa sallam berikut ini:
“Sucinya
 bejana tempat air kalian apabila dijilat anjing padanya, maka cucilah 
bejana itu dengan air sebanyak tujuh kali, didahului dengan menggosoknya
 dengan tanah.” (HR. Muslim hadits ke 279 / 91 dari Abi Hurairah 
radliyallahu `anhu )
Tuntunan
 yang demikian ini ialah bila anjing menjilat tempat air. Al-Imam 
An-Nawawi menerangkan: “ Para ahli bahasa Arab menerangkan: Kalimat di 
hadits ini maknanya ialah: Apabila anjing itu minum dengan menjilat air 
menggunakan ujung lidahnya.” Abu Zaid berkata: “Yang demikian itu 
apabila anjing itu menjilat minuman kita, dan pada minuman kita, atau ia
 minum dari minuman kita.” ( Syarah Shahih Muslim , Al-Imam An-Nawawi, 
juz 3 hal. 519)
Adapun
 bila anjing itu menjilat selain tempat air, maka cara mencucinya sama 
dengan cara mencuci benda najis yang lainnya, yaitu sampai bekas 
najisnya telah hilang. Dan bila dia menjilat tanah, maka tidak perlu 
adanya pencucian karena najisnya telah gugur dengan tanah itu. (Lihat 
Al-Muhalla , Ibnu Hazm, jilid 1 hal. 120 masalah ke 127)
Dan
 mencuci bejana tempat air yang dijilat anjing tidak dapat digantikan 
dengan cairan sabun atau cairan pengganti lainnya. Karena cara pencucian
 yang dituntunkan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam adalah perkara 
ibadah, tidak dapat digantikan dengan cara lainnya yang tidak pernah 
diajarkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam .
PENUTUP
Demikianlah
 tuntunan Islam dalam perkara at-thaharah. Tuntunan tersebut semakin 
menunjukkan betapa Islam itu adalah agama yang diajarkan dengan 
mencocoki fitrah manusia. Dan janganlah kita mempertentangkan tuntunan 
Al-Qur’an dan Al-Hadits ini dengan akal fikiran yang amat terbatas 
kemampuannya. Karena perkara at-thaharah ini adalah termasuk perkara 
ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta`ala.
DAFTAR PUSTAKA:
1). Al-Qur’anul Karim
2). Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari , Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Maktabah As-Salafiyah, tanpa tahun.
3). Talkhisul Habir , Ibnu Hajar Al-Asqalani, Mu`assasah Qurtubah, th. 1416 H / 1995 M.
4). Shahih Muslim bi Syarah An-Nawawi , penerbit Darul Khair, Damaskus – Beirut , cetakan pertama, th. 1414 H / 1994 M.
5). Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab , Al-Imam Abu Zakaria Muhyidin bin Syaraf An-Nawawi, Darul Fikr, 1414 H / 1994 M.
6). Al-Hawil Kabir , Al-Imam Abil Hasan Al-Mawardi, Darul Fikr, th. 1414 H / 1994 M.
7). Al-Mughni fi Fiqih Al-Imam Ahmad bin Hanbal , Al-Imam Abi Muhammad ibnu Qudamah, Darul Fikr, th. 1405 H / 1985 M.
8). Majmu’ Fatawa , Ibnu Taimiyah, Mujamma’ Al-Malik Fahad, Al-Madinah Al-Munawarrah, th. 1416 H / 1995 M.
9). Sunan Abu Dawud , Al-Imam Abu Dawud As-Sijistani, Darur Rayyan lit Turats, th. 1408 H / 1988 M.
10). Al-Mushannaf , Al-Imam Abdurrazaq bin Hammam As-Shan`ani, Al-Majlisul `Ilmi, Beirut – Libanon, tanpa tahun.
11). Sunan At-Tirmidzi , Al-Imam Abu Isa At-Tirmidzi, Darul Kutub Al-Ilmiyah, th. 1356 H / 1937 M.
12). Syarhus Sunnah , Al-Imam Al-Baghawi, Darul Fikr, th. 1414 H / 1994 M.
13). Al-Muhalla , Al-Imam Ibnu Hazm, Darul Fikr, tanpa tahun.
14). As-Sunanul Kubra , Al-Imam Al-Baihaqi, Darul Fikr, tanpa tahun
Cara Berwudlu
 Berwudlu’ adalah salah satu dari syarat sahnya shalat, 
sebagaimana hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi
 wa sallam dalam sabda beliau berikut:
“Tidak
 diterima shalat salah seorang dari kalian, apabila dia berhadats (yakni
 batal wudlunya, pent), sehingga dia berwudlu.” (HR. Muslim dalam Shahih
 nya halaman 459 juz 3 Bab Wujubut Thaharah lis Shalah no hadits 225 / 
2, dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu ).
Dengan
 berita dari Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam seperti ini, 
kita telah mengetahui bahwa berwudlu adalah amalan ibadah yang sangat 
penting untuk dipahami dan diamalkan dengan benar.
BEBERAPA KETENTUAN DI SEPUTAR IBADAH
Karena
 wudlu’ merupakan bagian terpenting dari ibadah, maka pelaksanaannya 
harus pula dengan menunaikan ketentuan-ketentuan utama dari ibadah. 
Ketentuan-ketentuan utama tersebut adalah sebagai berikut:
1).
 Amalan itu harus dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata. Hal ini 
berkenaan dengan ketentuan hati dalam meniatkannya. Sebab amalan ibadah 
yang tidak diniatkan untuk Allah semata, maka amalan itu akan sia-sia 
dan tidak ada nilainya sama sekali. Allah Ta`ala menegaskan ketentuan ini dalam firman-Nya sebagai berikut :
“Dan
 sungguh telah diwahyukan kepadamu (hai Muhammad) dan kepada Nabi-Nabi 
sebelummu, bahwa bila engkau menyekutukan Allah dengan lain-Nya dalam 
ibadahmu, niscaya akan batallah amalanmu. Dan sungguh engkau akan 
termasuk dalam golongan orang-orang yang merugi.” ( Az-Zumar : 65)
2).
 Amalan itu haruslah dilakukan dengan tuntunan dari Nabi Muhammad 
shallallahu `alaihi wa sallam . Hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah
 shallallahu `alaihi wa sallam dalam sabda beliau sebagimana berikut 
ini:
“Barang siapa beramal dengan suatu amalan yang bukan dari ajaran kami, maka dia itu tertolak amalannya”. (HR. Muslim )
Maka
 dengan dua ketentuan tersebut, berwudlu haruslah dengan membersihkan 
hati kita dari segala niat untuk selain Allah serta memurnikan niat kita
 berwudlu’ hanya untuk Allah semata, dan kita juga harus mengerti apa 
yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam dalam 
kaitannya dengan seputar amalan wudlu tersebut. Dengan ketentuan 
tersebut, kita dilarang ikut-ikutan dalam mengamalkan kewajiban 
berwudlu, tetapi harus memastikan secara ilmiah bahwa cara berwudlu kita
 itu memang telah sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu 
`alaihi wa sallam .
KEUTAMAAN BERWUDLU’ BAGI KAUM MU’MININ
Agar
 kita menjadi lebih bersemangat mengamalkan tuntunan berwudlu dengan 
benar dalam rangka beribadah kepada Allah Ta`ala, perlu juga kita 
mengerti beberapa keutamaan amalan wudlu’ di sisi Allah Ta`ala. 
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah memberitakan beberapa 
keutamaan itu dalam sabda-sabda beliau berikut ini:
“Sesungguhnya
 ummatku akan datang di hari kiamat dalam keadaan bersinar anggota 
tubuhnya karena bekas terkena air wudlu. Maka barang siapa dari kalian 
ingin memanjangkan sinar anggota tubuhnya yang terkena wudlu, hendaklah 
dia lakukan.” (HR. Muslim dalam Shahih nya juz 3 halaman 483 bab 
Istihbab Ithalatul Ghurrah wat Tahjil fil Wudlu’ , dari Abi Hurairah 
radliyallahu `anhu . Hadits ini diriwayatkan pula oleh Al-Imam 
Al-Bukhari dalam Shahih nya Kitabul Wudlu’ bab Fadl-lul Wudlu’ wal 
Ghurrul Muhajjalin min Aatsaril Wudlu’ dengan lafadh yang sedikit 
berbeda).
Pengertian
 “ memanjangkan sinar anggota tubuhnya yang terkena wudlu ”, ialah bahwa
 ketika berwudlu membasuh dengan air wudlu anggota tubuhnya lebih 
panjang dari batas minimal ketentuan membasuh anggota tubuh itu. 
Misalnya batas minimal membasuh kedua tangan adalah kedua siku. Maka 
dalam rangka memanjangkan sinar anggota tubuh yang terkena air wudlu 
itu, diperbolehkan memanjangkannya sampai ke ketiak. Demikian pula batas
 membasuh kedua telapak kaki adalah kedua mata kaki. Maka dalam rangka 
tujuan yang sama, boleh membasuhnya sampai ke lutut. Demikian dijelaskan
 oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim juz 3 hal. 482.
Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah
 seorang Muslim berwudlu, kemudian dia melakukannya dengan 
sebaik-baiknya, kemudian setelah itu dia menunaikan shalat, kecuali 
Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang terjadi di masa antara shalatnya
 itu dengan shalat berikutnya.” (HR. Muslim dalam Shahih nya juz 3 
halaman 464 no hadits 227/5 bab Kitabut Thaharah bab Fadllul Wudlu’ was 
Shalah Aqibahu , dari Utsman bin Affan radliyallahu `anhu ).
Juga beliau bersabda:
“Barangsiapa
 berwudlu, dan ia menjalankannya dengan baik, niscaya akan keluar 
dosa-dosanya dari jasadnya, sampaipun akan keluar dari bawah 
kuku-kukunya.” (HR. Muslim dalam Shahih nya juz 3 Kitabut Thaharah bab 
Wujub Isti’ab Jami’i Ajza’Mahallait Thaharah , dari Utsman bin Affan 
radliyallahu `anhu ).
Dan
 masih banyak lagi riwayat-riwayat shahih dari sabda Nabi shallallahu 
`alaihi wa sallam yang menerangkan betapa besar keutamaan wudlu’ yang 
dilakukan oleh seorang Mukmin apabila wudlu tersebut diamalkan dengan 
benar. Di samping dapat menghapuskan dosa-dosa kita, keutamaan berwudlu 
lainnya ialah bahwa Ahlul Wudlu’ (yakni orang yang suka berwudlu’) akan 
sangat dikenali oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di hari 
kiamat dengan sinar kemuliaan dari anggota tubuhnya yang terkena air 
wudlu. Tentu orang yang dikenali oleh beliau sebagai ummat beliau di 
hari kiamat, akan disyafaati oleh beliau dengan ijin Allah Ta`ala.
TUNTUNAN BERWUDLU’ YANG BENAR
Agar
 kita dapat menjalankan kewajiban berwudlu’ dengan benar dan baik, 
sehingga kita memperoleh segenap keutamaan berwudlu’ sebagaimana yang 
telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam , maka 
kita wajib mempelajari bagaimana cara berwudlu’ yang benar. Berikut ini 
kami bawakan riwayat-riwayat tuntunan berwudlu’ dari Rasulullah 
shallallahu `alaihi wa sallam serta penjelasan para Ulama’ tentangnya. 
Sebelum kita membahas tuntunan wudlu’ sebagaimana yang dicontohkan oleh 
Nabi kita, perlu kita memahami firman Allah Ta`ala yang menjelaskan cara
 berwudlu’ sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an surat Al-Ma’idah 6:
“Wahai
 orang-orang yang beriman, apabila kalian berdiri untuk menunaikan 
shalat, maka cucilah wajah kalian dan kedua tangan kalian sampai ke 
kedua siku. Dan usaplah dengan air wudlu kepala kalian. Dan cucilah 
kedua telapak kaki kalian sampai ke kedua mata kaki.” ( Al-Maidah : 6)
Para
 Ulama’ menyatakan bahwa apa yang disebutkan oleh Allah Ta`ala di ayat 
ini adalah amalan yang wajib dalam berwudlu’. Demikian diterangkan oleh 
Al-Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya dalam Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 
jilid 3 halaman 2080. Adapun niat, itu sudah termasuk kewajiban berwudlu
 yang disebutkan oleh ayat ini, ketika Allah menyatakan dalam firman-Nya
 (yang artinya): “ Dan apabila kamu berdiri untuk shalat, maka cucilah 
wajah kalian .” Jadi mencuci wajah dan selanjutnya adalah dalam rangka 
menunaikan shalat. Ini adalah isyarat dari Allah Ta`ala tentang wajibnya
 niat untuk melaksanakan wudlu’. Demikian diterangkan oleh Al-Imam 
Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir jilid 2 halaman 18. Sedangkan amalan 
berwudlu’ yang lainnya adalah merupakan adab dan sunnah, sebagaimana hal
 ini ditegaskan oleh Al-Imam Al-Qurtubi. Demikianlah keterangan Allah 
Ta`ala dalam firman-Nya di Al-Qur’an tentang cara berwudlu’.
Adapun
 keterangan dalam hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa 
sallam tentang tuntunan berwudlu’ secara lengkap adalah sebagai berikut:
Dari
 Humran maula Utsman bin Affan radliyallahu `anhu memberitakan bahwa dia
 pernah melihat Utsman bin Affan meminta disediakan air wudlu. Kemudian 
beliau menuangkan dari bejana itu kepada kedua telapak tangannya 
sehingga mencucinya tiga kali. Kemudian beliau memasukkan telapak tangan
 kanannya ke dalam air itu guna mengambil air dengannya untuk 
berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung serta mengeluarkannya. 
Setelah itu beliau mencuci wajah beliau sebanyak tiga kali. Kemudian 
mencuci kedua tangannya sampai ke siku sebanyak tiga kali. Selanjutnya 
beliau mengusap kepalanya dengan air itu, dan setelah itu beliau mencuci
 kedua kakinya masing-masing sebanyak tiga kali. Kemudian setelah itu 
beliau menyatakan: “Aku melihat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
 berwudlu’ seperti wudlu’ku ini.” (HR. Bukhari dalam Shahih nya, Kitabul
 Wudlu’ Bab Al-Madlmadlah fil Wudlu’ hadits ke 164, lihat Fathul Bari 
juz 1 halaman 266 no hadits 164)
Abdullah
 bin Zaid radliyallahu `anhu ketika ditanya bagaimana cara wudlu’ 
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam , maka beliau pun memperagakan 
bagaimana cara berwudlu’ Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dengan 
mencuci kedua telapak tangannya masing-masing dua kali. Kemudian beliau 
berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung (serta mengeluarkannya, 
pent) sebanyak tiga kali. Setelah itu mencuci wajahnya tiga kali dan 
kemudian mencuci kedua tangannya sampai ke kedua sikunya masing-masing 
dua kali. Kemudian mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya 
dengan cara meletakkan kedua telapak tangannya di bagian depan rambut 
kepalanya dan menggerakkan kedua telapak tangan itu ke bagian belakang 
kepalanya dan kembali lagi ke depan. Demikian beliau lakukan dalam 
mengusap kepala dan dilakukan hanya sekali, sebagaimana diterangkan 
demikian dalam Shahih Muslim – Kitabut Thaharah Bab Shifatul Wudlu’ 
hadits ke 235, pent. Kemudian beliau mencuci kedua kaki beliau.” (HR. 
Bukhari dalam Shahih nya, Kitabul Wudlu’ Bab Mas-hur Ra’si Kullihi , 
hadits ke 185).
Riwayat
 Abdullah bin Zaid ini memberitakan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi
 wa sallam mencuci kedua tangannya masing-masing dua kali. Sedangkan 
dalam riwayat Utsman bin Affan, beliau memberitakan bahwa mencuci tangan
 itu tiga kali. Bahkan dalam riwayat lain, Abdullah bin Zaid 
menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam membasuh 
anggota badannya dalam berwudlu, masing-masing dua kali. (HR. Bukhari 
hadits ke 158, Bab Al-Wudlu’ Marratain Marratain ). Juga Abdullah bin 
Abbas radliyallahu `anhuma menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu 
`alaihi wa sallam berwudlu dengan membasuh anggota badannya 
masing-masing sekali. (HR. Bukhari hadits ke 157, Bab Al-Wudlu’ Marratan
 Marratan ). Maka dengan demikian, kewajiban membasuh anggota badan 
dalam berwudlu’ itu boleh sekali, atau dua kali, dan boleh juga tiga 
kali. Yang terpenting daripadanya ialah bila air wudlu’ itu dipastikan 
telah merata mengenai seluruh anggota badan yang wajib terkena air 
wudlu’ itu.
Di
 samping itu dalam riwayat Abdullah bin Zaid di atas telah diberitakan 
cara yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam 
dalam mengusap kepala dengan air wudlu’. Yaitu dengan mengusapkan kedua 
telapak tangan yang telah dicelupkan ke dalam air wudlu’, dan diletakkan
 di bagian dahi paling atas. Kemudian kedua telapak tangan itu 
digerakkan ke arah kepala bagian belakang atau tengkuk, setelah itu 
dikembalikan kedua telapak tangan itu ke tempat semula (yaitu bagian 
depan kepala atau bagian atas dahi). Yang demikian itu dilakukan hanya 
sekali, bukan dua kali atau lebih. Demikianlah semestinya mengusap 
kepala dalam berwudlu’ sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah 
shallallahu `alaihi wa sallam .
Sedangkan
 ketentuan lain daripada wudlu’ itu ialah memulainya dari bagian kanan 
dari anggota badan yang dibasuh itu, setelah itu baru sebelah kiri. 
Karena hal ini telah diberitakan oleh A’isyah Ummul Mu’minin 
radliyallahu `anha bahwa: “Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam itu 
senang memulai dengan bagian kanannya dalam memakai alas kaki, atau 
dalam bersisir, dan dalam bersuci, serta dalam segala urusannya (yang 
mulia, pent).” Demikian dalam hadits riwayat Bukhari dalam Shahih nya, 
Kitabul Wudlu’ Bab Tayammunu fil Wudlu’ wal Ghusli , hadits ke 168.
Adapun
 permasalahan mengusap kedua daun telinga, maka dalam perkara ini telah 
diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunan nya dalam Abwabut 
Thaharah Bab Ma Jaa’a annal Udzunain Minar Ra’si dari Abu Umamah 
radliyallahu `anhu hadits ke 37 yang memberitakan: “Nabi shallallahu 
`alaihi wa sallam berwudlu’, kemudian beliau mencuci wajahnya tiga kali,
 dan kedua tangannya tiga kali. Dan beliau mengusap kepalanya, dan 
beliau menyatakan: “Kedua telinga adalah bagian dari kepala (yakni 
bagian kepala yang harus diusap dengan air wudlu’, pent).” Hadits ini 
diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dalam Sunan nya dan Ibnu Majah dalam 
Sunan nya. Al-Imam Ahmad Syakir rahimahullah telah menerangkan panjang 
lebar tentang keshahihan hadits ini dan membantah segala keraguan 
tentang keshahihannya, dalam catatan kaki beliau terhadap Sunan 
At-Tirmidzi terbitan Darul Kutub Al-Ilmiyah cet. th. 1356 H / 1937 M. 
Juga Al-Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menshahihkan 
hadits ini dalam catatan kaki beliau terhadap kitab Misykatul Mashabiih 
jilid 1 hal. 131 hadits ke 416. Selanjutnya, tentang cara mengusap kedua
 daun telinga itu adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Abu 
Dawud As-Sijistani dalam Sunan nya, Kitabut Thaharah Bab Al-Wudlu’ 
Tsalatsan Tsalatsan hadits ke 135 dari Amer bin Syu’aib dari bapaknya, 
dari kakeknya (yakni dari Abdullah bin Amer bin Al-Ash radliyallahu 
`anhuma , pent), memberitakan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa 
sallam berwudlu’ (kemudian diceritakan wudlu’nya), kemudian diberitakan:
 “Beliau mengusap kepalanya, kemudian beliau memasukkan kedua jari 
telunjuknya ke dalam kedua lubang telinganya dan meletakkan ibu jari 
beliau di bagian punggung daun telinga beliau, sehingga beliau mengusap 
punggung daun telinga itu dengan ibu jari dan mengusap bagian dalam daun
 telinga itu dengan jari telunjuk beliau.”
Jadi
 mengusap kedua daun telinga dilakukan setelah mengusap kepala dengan 
air wudlu’ dan tidak perlu mengambil air wudlu’ lagi untuk mengusap 
kedua telinga itu. Akan tetapi bergandengan pengusapannya setelah 
gerakan mengusap kepala.
Kemudian
 permasalahan mengucap basmalah ketika akan memulai amalan wudlu’, maka 
hal ini telah diriwayatkan oleh Sa’ied bin Zaid bin Amer bin Nufail 
radliyallahu `anhu , bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam 
bersabda:
“Tidak
 sah wudlu’ seseorang bila tidak membaca bismillah padanya.” (HR. 
At-Tirmidzi dalam Sunan nya, Abwabut Thaharah Bab Ma Jaa’a Fit Tasmiyah 
‘indal Wudlu’ dari Said bin Zaid, juga diriwayatkan pula oleh Al-Baihaqi
 dengan lafadh yang sama, lihat As-Sunanul Kubra juz 1 Kitabut Thaharah 
Bab At-Tasmiyah ‘alal Wudlu hal. 43 dari Abu Said Al-Khudri radliyallahu
 `anhu )
Al-Imam
 Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Talkhisul Habir jilid 1 hal. 123 – 128 
membawakan beberapa riwayat dan sanad hadits tersebut di atas, kemudian 
beliau menyatakan kesimpulannya: “Yang nyata dari segenap hadits-hadits 
tersebut, jadilah hadits ini mempunyai kekuatan sanad (yakni mempunyai 
keakuratan berita, pent) yang menunjukkan bahwa berita tentang sabda 
Nabi tersebut mempunyai asal usul (yakni nara sumbernya bisa dipercaya, 
pent). Abu Bakar bin Abi Syaibah telah berkata: “Telah pasti bagi kami 
bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam telah bersabda dengannya.”
Dengan
 demikian, maka memulai wudlu’ dengan membaca bismillah adalah termasuk 
kewajiban wudlu’ berdasarkan hadits tersebut di atas. Demikian 
dinyatakan oleh dua orang Imam dari kalangan tabi`in, Ishaq bin Rahuyah 
dan Al-Hasan Al-Basri rahimahumullah . Al-Imam At-Tirmidzi memberitakan 
hal ini dalam Sunan nya dan Al-Mundziri dalam Targhib nya.
Dalam
 menjalankan amalan wudlu’, diwajibkan pula untuk menyilang-nyilang jari
 jemari tangan dan kaki agar air wudlu’ itu sampai ke seluruh tangan dan
 kaki yang wajib dibasuh. Hal ini telah diperintahkan oleh Rasulullah 
shallallahu `alaihi wa sallam dalam sabda beliau sebagai berikut ini:
“Apabila
 kamu berwudlu’, maka silang-silangkanlah jari-jemari kedua tanganmu dan
 kedua kakimu.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan nya kitabut Thaharah jilid 1
 bab Takhlilu Al-Ashabi`a halaman 57 hadits ke 39 dari Ibnu Abbas 
radliyallahu `anhu , juga Ibnu Majah dalam Sunan nya Kitabut Thaharah 
jilid 1 bab Takhlilu Al-Ashabi`a halaman 153 hadits ke 447 dan juga 
Ahmad dalam Musnad nya dari Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma ).
Ibnu
 Hajar Al-Asqalani rahimahullah telah menjelaskan dalam Talkhisul Habir 
jilid 1 hal. 165 bahwa Al-Imam Al-Bukhari telah menghasankan hadits ini.
 Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar jilid 1 hal. 191 
menyatakan: “Hadits-hadits ini menunjukkan disyariatkannya 
menyilang-nyilangkan jari-jemari tangan dan kaki. Dan hadits-hadits 
dalam perkara bab ini saling menguatkan satu dengan lainnya sehingga 
sangat meyakinkan wajibnya perkara ini.”
Adapun
 menyilang-nyilangkan jari-jemari pada jenggot dengan air wudlu dalam 
berwudlu’, maka yang demikian ini adalah salah satu sunnah dari 
amalan-amalan sunnah wudlu’. Berhubung apa yang diriwayatkan oleh 
At-Tirmidzi dalam Sunan nya, Abwabut Thaharah Bab Ma Jaa’a fi Takhlilil 
Lihyah , hadits ke 31 dari riwayat Israil yang meriwayatkannya dari Amir
 bin Syaqiq. Beliau meriwayatkannya dari Abu Wa’il. Dan beliau 
meriwayatkannya dari Utsman bin Affan yang memberitakan bahwa Nabi 
shallallahu `alaihi wa sallam menyilang-nyilang jenggot beliau (dalam 
berwudlu’, pent). Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah menjelaskan: 
“Muhammad bin Ismail berkata (yakni Al-Imam Al-Bukhari, pent): Hadits 
yang paling shahih dalam bab ini ialah yang diriwayatkan oleh Amir bin 
Syaqiq dari Abu Wa’il dari Utsman bin Affan.”
Al-Imam
 Asy-Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar jilid 1 hal. 186 
menjelaskan: “Yang benar bahwa hadits-hadits dalam bab ini setelah 
diyakini bahwa hadits-hadits tersebut dapat dijadikan dalil, bahwa 
hadits-hadits itu tidak menunjukkan wajibnya perbuatan tersebut.”
Al-Imam
 Al-Mubarakfuri rahimahullah dalam Tuhfatul Ahwadzi jilid 1 hal. 129 
menerangkan bahwa jumhur Ulama’ (yakni mayoritas Ulama’) berpandangan 
bahwa menyilang-nyilangkan air wudlu’ diantara jenggot adalah sunnah 
bila dalam berwudlu’, tetapi perbuatan tersebut adalah wajib dalam 
amalan mandi junub. Kemudian beliau menambahkan: “Aku katakan: pendapat 
yang paling mantap dan kuat menurut aku ialah pendapat kebanyakan Ulama’
 tersebut, Wallahu Ta`ala A’lam .”
Demikianlah
 kami nukilkan kepada pembaca sekalian, pendapat yang paling kuat 
menurut kami dengan melihat dalil-dalil yang shahih sanadnya dari para 
Ulama’ yang berpendapat seperti itu.
Kemudian
 amalan sunnah yang lainnya dalam berwudlu’ adalah mengucapkan syahadat 
setelah berwudlu’. Hal ini sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah 
shallallahu `alaihi wa sallam dalam sabda beliau berikut ini:
“Barangsiapa
 yang berwudlu’ kemudian setelahnya mengatakan: Asyhadu anlaa ilaaha 
illallahu wahdahu laa syariikalah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa 
rasuuluhu (artinya: Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar 
kecuali Allah yang esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi 
pula bahwa Muhammad itu adalah hambaNya dan RasulNya, pent), niscaya 
akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan untuk dia masuk 
dari mana saja yang dia suka.” Dalam riwayat lain bahwasanya Rasulullah 
shallallahu `alaihi wa sallam menyebutkan seperti itu juga tanpa 
menyebutkan: Barangsiapa berwudlu maka setelahnya dia berkata: Asyhadu 
alla ilaha illallah wahdahu la syarikalahu wa asyhadu anna Muhammadan 
abduhu wa rasuluhu .” (HR. Muslim dalam Shahih nya, Kitabut Thaharah Bab
 Al-Mustahab Aqbal Wudlu’ , dari riwayat Uqbah bin Amir Al-Juhaniy 
radliyallahu `anhu ).
Al-Imam
 An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa membaca bacaan ini setelah 
berwudlu’ adalah sunnah ( Syarah Shahih Muslim , Al-Imam An-Nawawi, juz 3
 hal. 472).
Hal
 yang sangat diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
 adalah kelalaian banyak orang dalam membasuh kedua telapak kakinya, 
untuk membasuh telapak kaki bagian belakang. Sehingga bagian tersebut 
sering tidak terkena air wudlu’ dan tentunya yang demikian ini 
menyebabkan tidak sahnya wudlu’ tersebut dan berakibat pula tidak sahnya
 shalat yang dilakukan sesudahnya. Demikian ditegaskan oleh Rasulullah 
shallallahu `alaihi wa sallam , ketika melihat seorang yang telah 
berwudlu’ tetapi dia meninggalkan bagian di kakinya tempat yang tidak 
terkena air wudlu’ sebesar satu kuku, dan hal ini dilihat oleh 
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam , maka beliaupun memerintahkan 
kepadanya untuk kembali berwudlu’ dengan cara yang lebih baik. Hadits 
ini diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim An-Nisaburi dalam Shahih nya hadits
 ke 243, dari Umar bin Al-Khattab radliyallahu `anhu . Terhadap hadits 
ini Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan: “Hadits ini menunjukkan 
bahwa barangsiapa meninggalkan sebagian kecil dari anggota badan yang 
wajib untuk dibasuh dengan air wudlu’, maka tidak sah wudlu’nya dan 
pendapat yang demikian ini telah disepakati oleh para Ulama’.” ( Syarah 
Shahih Muslim , Al-Imam An-Nawawi, juz 3 halaman 480).
Bahkan
 Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam ketika melihat seorang pria 
tidak mencuci telapak kaki bagian belakang, maka beliau mengingatkan:
“Celakalah
 bagi telapak kaki bagian belakang yang tidak terkena air wudlu’ dengan 
jilatan api neraka.” (HR. Muslim dalam Shahih nya jilid 1, 2, 3 Kitabut 
Thaharah Bab Wujub Ghuslir Rijlain wastii`aabi jamii`i ajzaa’i mahalli 
ath-thaharaah halaman 480 no. 242 dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu 
).
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Demikianlah
 mestinya pelaksanaan berwudlu’ sebagaimana yang diajarkan oleh 
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dengan riwayat-riwayat yang 
shahihah menurut penjelasan para Ulama’ Ahlil Hadits. Dan bila berbagai 
pembahasan tersebut di atas kita simpulkan, maka cara berwudlu’ yang 
benar itu ialah sebagai berikut:
1).
 Berniat yang ikhlas karena Allah Ta`ala semata menunaikan wudlu’ untuk 
mentaati Allah dan Rasul-Nya dalam beribadah untuk-Nya.
2). Mengucapkan bismillah ketika akan memulai amalan wudlu’nya.
3).
 Membasuh kedua telapak tangan sampai pergelangan tangan dan 
menyilang-nyilangkan air di antara jari jemari tangan. Hal ini dilakukan
 sebanyak tiga kali dengan memulai dari tangan sebelah kanan.
4). Berkumur-kumur dan memasukkan pula air ke hidung sebanyak tiga kali.
5.
 Membasuh muka dengan menyilang-nyilangkan pula air wudlu’ itu di antara
 rambut jenggot dan cambang sehingga air wudlu’ itu merata mengenai 
seluruh bagian wajah sampai batas wajah dengan telinga dan rambut 
kepala. Hal ini dilakukan sebanyak tiga kali.
6).
 Membasuh tangan sebelah kanan sampai ke siku dengan 
menyilangkan-nyilangkan air wudlu’ di antara jari jemari tangan. 
Dilakukan yang demikian ini sebanyak tiga kali.
7). Membasuh tangan sebelah kiri dengan cara yang serupa ketika membasuh tangan sebelah kanan.
8).
 Mengusapkan air wudlu’ ke kepala dengan cara mencelupkan kedua telapak 
tangan ke dalam air wudlu’ kemudian meletakkan keduanya di bagian depan 
kepala dan di jalankan keduannya pada bagian atas rambut kepala itu ke 
bagian belakang kepala (yakni ke tengkuk), kemudian keduanya 
dikembalikan lagi ke depan. Kemudian langsung mengusap kedua daun 
telinga dengan memasukkan kedua jari telunjuk ke dalam lubang telinga 
serta mengusap dengannya bagian dalam telinga itu dan mengusapkan kedua 
ibu jari ke bagian belakang daun telinga. Hal ini dilakukan sekali.
9).
 Membasuh bagian kanan telapak kaki sampai ke mata kaki dengan 
menyilang-nyilangkan air wudlu’ ke jari jemarinya. Hal ini dilakukan 
sebanyak tiga kali.
10). Melakukan perbuatan yang sama dengan telapak kaki sebelah kirinya seperti yang dilakukan di telapak kaki sebelah kanan.
11). Mengucapkan syahadatain setelah menjalankan seluruh amalan wudlu’ itu.
12).
 Disunnahkan untuk melebihkan dalam membasuh dan mengusap anggota badan 
yang harus dialiri air wudlu’ dari batas minimalnya. Yaitu membasuh 
kedua tangan sampai ke kedua ketiak, membasuh kepala sampai ke tengkuk 
dan leher, membasuh kedua telapak kaki sampai ke kedua lutut atau paha.
13).
 Menigakalikan atau menduakalikan dalam membasuh bagian-bagian badan 
yang harus dibasuh dalam berwudlu’ adalah sunnah. Sedangkan yang wajib 
adalah sekali bila diyakini bahwa air wudlu’ telah rata mengena seluruh 
bagian tubuh yang harus terkena.
14). Disunnahkan pula untuk menjalani wudlu dengan sesuai tertib urutan yang disebutkan di atas.
Demikianlah
 cara berwudlu yang benar sebagaimana yang telah diajarkan oleh 
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam . Dan kita menjalankan tuntunan
 tersebut, karena berwudlu’ adalah salah satu dari amalan ibadah yang 
harus dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan dengan tuntunan 
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam .
Cara Mandi Junub
Mandi junub adalah mandi wajib untuk membersihkan diri dari 
hadats besar dengan mengalirkan air ke seluruh bagian tubuh. Jika tidak mandi junub sementara kita dalam keadaan junub, maka sholat kita tidak sah.
Sebab mandi junub :
1. Keluarnya mani, apakah karena syahwat atau karena sebab yang lainnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam dalam sabda beliau sebagai berikut :
(tulis haditsnya di Syarah Shahih Muslim An Nawawi juz 4 hal. 30 hadits ke 81)
Dari
 Abi Sa’id Al Khudri dari Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, 
bahwa beliau bersabda : “Hanyalah air itu (yakni mandi) adalah karena 
air pula (yakni karena keluar air mani”. HR. Muslim dalam Shahihnya.
Dalam
 menerangkan hadits ini Al Imam Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf An 
Nawawi menyatakan : “Dan Ma’nanya ialah : Tidak wajib mandi dengan air, 
kecuali bila telah keluarnya air yang kental, yaitu mani”.
2.
 Berhubungan seks, baik keluar mani atau tidak keluar mani. Hal ini 
sebagaimana yang dinyatakan Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi 
wasallam dalam sabdanya sebagai berikut :
(tulis haditsnya di Fathul Bari Ibni Hajar jilid 1 hal. 395 hadits ke 291)
Dari
 Abi Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi sallallahu alaihi waalihi 
wasallam, bahwa beliau bersabda : “Apabila seorang pria telah duduk 
diantara empat bagian tubuh permpuan (yakni berhubungan seks) kemudian 
dia bersungguh-sungguh padanya (yakni memasukkan kemaluannya pada 
kemaluan perempuan itu), maka sungguh dia telah wajib mandi karenanya”. 
HR. Bukhari dalam Shahihnya.
3. Berhentinya haid dan nifas (Masalah ini akan dibahas insyaallah dalam rubrik kewanitaan).
4.
 Mati dalam keadaan Muslim, maka yang hidup wajib memandikannya. 
(Masalah ini akan dibahas insyaallah dalam topik pembahasan “cara 
memandikan jenazah”).
Cara menunaikan mandi junub :
Karena
 menunaikan mandi junub itu adalah termasuk ibadah kepada Allah Ta’ala, 
maka disamping harus dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata, juga 
harus pula dilaksanakan dengan cara dituntunkan oleh Rasulullah 
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dalam hal ini terdapat beberapa 
riwayat yang memberitakan beberapa cara mandi junub tersebut. 
Riwayat-riwayat itu adalah sebagai berikut :
1. (tulis hadisnya dalam Sunan Abi Dawud jilid 1 hal. 63 hadits ke 249)
“Dari
 Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi 
wasallam telah bersabda : Barangsiapa yang meningggalkan bagian tubuh 
yang harus dialiri air dalam mandi janabat walaupun satu rambut untuk 
tidak dibasuh dengan air mandi itu, maka akan diperlakukan kepadadanya 
demikian dan demikian dari api neraka”. HR. Abu Dawud dalam Sunannya 
hadits ke 249 dan Ibnu Majah dalam Sunannya hadits ke 599. Dan Ibnu 
Hajar Al Asqalani menshahihkan hadits ini dalam Talkhishul Habir jilid 1
 halaman 249.
Dengan
 demikian kita harus meratakan air ketika mandi janabat ke seluruh tubuh
 dengan penuh kehati-hatian sehingga dilakukan penyiraman air ketubuh 
kita itu berkalai-kali dan rata.
2. (tulis haditsnya di Fathul Bari jilid 1 halaman 429 hadits ke 248)
“Dari
 A’isyah radhiyallahu anha beliau menyatakan : Kebiasaannya Rasulullah 
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam apabila mandi junub, beliau memulai
 dengan mencuci kedua telapak tangannya, kemudian beliau berwudhu’ 
seperti wudhu’ beliau untuk shalat, kemudian beliau memasukkan jari 
jemari beliau kedalam air, sehingga beliau menyilang-nyilang dengan jari
 jemari itu rambut beliau, kemudian beliau mengalirkan air ke seluruh 
tubuh beliau”. HR. Al Bukhari dalam Shahihnya hadits nomer 248 (Fathul 
Bari) dan Muslim dalam Shahihnya hadits ke 316. Dalam riwayat Muslim ada
 tambahan lafadl berbunyi demikian : “Kemudian beliau mengalirkan air ke
 seluruh tubuhnya, kemudian mencuci kedua telapak kakinya”.
Jadi
 dalam mandi junubnya Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, 
beliau memasukkan air ke sela-sela rambut beliau dengan jari-jemari 
beliau. Ini adalah untuk memastikan ratanya air mandi junub itu sampai 
ke kulit yang ada di balik rambut yang tumbuh di atasnya. Sehingga air 
mandi junub itu benar-benar mengalir ke seluruh kulit tubuh.
3. (tulis haditsnya di Shahih Muslim Syarh An Nawawi juz 3 hal 556 hadits ke 317)
“Maimunah
 Ummul Mu’minin menceritakan : Aku dekatkan kepada Rasulullah sallallahu
 alaihi wa aalihi wasallam air mandi beliau untuk janabat. Maka beliau 
mencuci kedua telapak tangan beliau dua kali atau tiga kali, kemudian 
beliau memasukkan kedua tangan beliau ke dalam bejana air itu, kemudian 
beliau mengambil air dari padanya dengan kedua telapak tangan itu untuk 
kemaluannya dan beliau mencucinya dengan telapak tangan kiri beliau, 
kemudian setelah itu beliau memukulkan telapak tangan beliau yang kiri 
itu ke lantai dan menggosoknya dengan lantai itu dengan 
sekeras-kerasnya. Kemudian setelah itu beliau berwudlu’ dengan cara 
wudlu’ yang dilakukan untuk shalat. Setelah itu beliau menuangkan air ke
 atas kepalanya tiga kali tuangan dengan sepenuh telapak tangannya. 
Kemudian beliau membasuh seluruh bagian tubuhnya. Kemudian beliau 
bergeser dari tempatnya sehingga beliau mencuci kedua telapak kakinya, 
kemudian aku bawakan kepada beliau kain handuk, namun beliau 
menolaknya”. HR. Muslim dalam Shahihnya hadits ke 317 dari Ibnu Abbas.
Dari
 hadits ini, menunjukkan bahwa setelah membasuh kedua telapak tangan 
sebagai permulaan amalan mandi junub, maka membasuh kemaluan sampai 
bersih dengan telapak tangan sebelah kiri dan setelah itu telapak tangan
 kiri itu digosokkan ke lantai dan baru mulai berwudhu’. Juga dalam 
riwayat ini ditunjukkan bahwa setelah mandi junub itu, sunnahnya tidak 
mengeringkan badan dengan kain handuk.
4. (tulis haditsnya di Fathul Bari jilid 1 halaman 372 hadits ke 260)
“Dari
 Maimun (istri Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam), beliau 
memberitakan bahwa Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam ketika 
mandi janabat, beliau mencuci kemaluannya dengan tangannya, kemudian 
tangannya itu digosokkan ke tembok, kemudian setelah itu beliau mencuci 
tangannya itu, kemudian beliau berwudlu’ seperti cara wudlu’ beliau 
untuk shalat. Maka ketika beliau telah selesai dari mandinya, beliau 
membasuk kedua telapak kakinya”. HR. Bukhari dalam Shahihnya, hadits ke 
260.
Dari
 hadits ini, menunjukkan bahwa menggosokkan telapak tangan kiri setelah 
mencuci kemaluan dengannya, bisa juga menggosokkannya ke tembok dan 
tidak harus ke lantai. Juga dalam hadits ini diterangkan bahwa setelah 
menggosokkan tangan ke tembok itu, tangan tersebut dicuci, baru kemudian
 berwudlu’.
Penutup Dan Kesimpulan :
Dari berbagai riwayat tersebut di atas kita dapat simpulkan, bahwa cara mandi junub itu adalah sebagai berikut :
1. Mandi junub harus diniatkan ikhlas semata karena Allah Ta’ala dalam rangka menta’atiNya dan beribadah kepadaNya semata.
2.
 Dalam mandi junub, harus dipastikan bahwa air telah mengenai seluruh 
tubuh sampaipun kulit yang ada di balik rambut yang tumbuh di manapun di
 seluruh tubuh kita. Karena itu siraman air itu harus pula dibantu 
dingan jari jemari tangan yang mengantarkan air itu ke bagian tubuh yang
 paling tersembunyi sekalipun.
3.
 Mandi junub dimulai dengan membasuh kedua telapak tangan sampai 
pergelangan tangan, masing-masing tiga kali dan cara membasuhnya dengan 
mengguyur kedua telapak tangan itu dengan air yang diambil dengan 
gayung. Dan bukannya dengan mencelupkan kedua telapak tangan itu ke bak air.
4. Setelah itu mengambil air dengan telapak tangan untuk mencuci kemaluan dengan telapak tangan kiri sehingga bersih.
5. Kemudian telapak tangan kiri itu digosokkan ke lantai atau ke tembok sebanyak tiga kali. Dan setelah itu dibasuh dengan air.
6. Setelah itu berwudlu’ sebagaimana cara berwudlu’ untuk shalat.
7.
 Kemudian mengguyurkan air dari kepala ke seluruh tubuh dan 
menyilang-nyilangkan air dengan jari tangan ke sela-sela rambut kepala 
dan rambut jenggot dan kumis serta rambut mana saja di tubuh kita 
sehingga air itu rata mengenai seluruh tubuh.
8.
 Kemudian bila diyakini bahwa air telah mengenai seluruh tubuh, maka 
mandi itu diakhiri dengan membasuh kedua telapak kaki sampai mata kaki.
9. Disunnahkan untuk tidak mengeringkan badan dengan kain handuk atau kain apa saja untuk mengeringkan badan itu.
10.
 Disunnahkan untuk melaksanakan mandi junub itu dengan tertib seperti 
yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi 
wasallam.
Demikianlah
 cara mandi junub yang benar sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi 
Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam dan juga telah dicontohkan
 oleh beliau. Semoga dengan kita menunaikan ilmu ini, amalan ibadah 
shalat kita akan diterima oleh Allah Ta’aala karena kita telah suci dari
 junub atau hadats besar. Amin Ya Mujibas sa’ilin.
1.
 Tentang pengertian orang yang mukalaf , artinya orang yang telah baligh
 dari sisi usianya dan telah mumayyiz dari sisi kemampuan berfikirnya. 
Mumayyiz itu sendiri artinya ialah kemampuan membedakan mana yang 
bermanfaat baginya dan mana pula yang bermudarat.
2. Tentang pengertian hadatas besar , telah diterangkan dalam Salafi ed. 1 th. V hal. ?
3. Ar Raudhatun Nadiyah, Al Allamah Shiddiq Hasan Khan, hal. 35.
4. Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab, Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf An Nawawi, jilid 2 hal. 153, Darul Fiker Beirut Libanon, cet. Th. 1417 H / 1996 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar