Secara
umum, tipologi kepemimpinan, dilihat dari aspek legitimasinya dapat
dibedakan menjadi dua macam, kepemimpinan yang berproses secara alamiah
dan tradisional (traditional leadership) yang melahirkan sosok pemimpin
tradisional, dan kepemimpinan yang berproses secara formal dan
fungsional (functional leadership) yang melahirkan sosok pemimpin
formal.
Pemimpin
yang berproses secara fungsional pada umumnya memperoleh legitimasi
formal dengan batas-batas teritori yang jelas, dengan “mandat” khusus
dari yang dipimpinnya.
Sementara
itu, pemimpin yang berproses secara alamiah biasanya bersifat informal
dan tidak memiliki batas teritorial maupun tanggung jawab kepemimpinan
secara jelas, seperti keberadaan ulama, tokoh masyarakat maupun tokoh
adat. Jenis pemimpin seperti ini memiliki karakteristik di mana
kepemimpinannya tidak bisa dilihat secara jelas, tapi pengaruhnya secara
psikologis amat terasa dalam menentukan keberlangsungan kehidupan
sosial masyarakat.
Dalam pembahasan singkat ini,
perbincangan tentang maslah kepemimpinan akan lebih difokuskan pada
tipologi kepemimpinan tradisional, yang mempunyai relevansi dan
keterkaitan langsung dengan kepemimpinan dakwah.
Basis Kepemimpinan Nabi
Jiwa
kepemimpinan Nabi SAW terasah sejak usianya masih belia. Sang kakek,
Abdul Mutholib adalah seorang figur bangsawan Quraisy yang mempunyai
karisma luar biasa, dan sifat tersebut dapat terekam secara baik pada
pribadi Muhammad. Sepeninggal kakekknya, ia diasuh oleh pamanda Abu
Tholib, yang juga tokoh yang sangat disegani di kalangan Quraiys.
Lewat
pamannyalah naluri kepemimpinan Muhammad SAW terus memperoleh
penajamannya. Dimulai dari belajar menggembalakan kambing, belajar
menjalankan amanah dengan membantu pamannya berdagang hingga beliau
mencetak sejarah sangat menakjubkan dalam menangani perselisihan
orang-orang Quraisy saat renovasi Ka’bah. Muhammad, yang ketika itu
masih remaja, berhasil memberikan rasa puas kepada seluruh suku dengan
keputusannya yang sangat “elegan” mengenai hak peletakan batu al-hajar
al-aswad. Atas prestasinya tersebut lantas beliau memperoleh gelar
al-amin (yang terpercaya).
Aktivitas
menggembalakan ternak yang dilakukan Muhammad SAW ketika usia belia
merupakan wahana “latihan kepemimpinan” yang sangat efektif. Dalam
proses penggembalaan tersebut, setidaknya dibutuhkan lima prasyarat yang harus dipenuhi agar memperoleh kesuksesan.
Pertama,
mempunyai kepribadian yang kuat. Seorang penggembala, —demikian juga
seorang pemimpin masyarakat, harus mempunyai kepribadian yang kuat,
keimanan yang kokoh, tidak mudah terombang-ambing oleh adanya perubahan
situasi di luar dirinya.
Kedua,
mempunyai kesabaran dan ketekunan. Tanpa kesabaran dan ketekunan, kita,
sebagai gembala akan terus menerus larut dalam emosi yang justru
merugikan diri sendiri. Apalagi hal ini berhadapan dengan sekelompok
binatang yang tidak mempunyai rasio. Dalam medan
dakwah, pasti ditemui individu atau kelompok masyarakat yang tidak
senang, bahkan menghambat. Nah, di saat seperti inilah nilai-nilai
kesabaran dan ketekunan akan mampu meredamnya.
Ketiga,
mampu menjalin harmoni di antara seluruh komponen. Sebagai pemimpin,
kita dituntut untuk mampu membaca potensi dari masing-masing “gembala”,
dan membuat situasi yang harmoni di antara mereka, dengan senantiasa
merangsang untuk terus berlomba mengembangkan potensinya masing-masing
secara benar. Dengan kemampuan ini, maka situasi masyarakat akan
bergerak dinamis dengan kompetisi yang sehat (al-istibaq fi al-khairat).
Di sinilah relevansi filosofi kepemimpinan Ing Madya Mangun Karso (Di
tengah masyarakat membangun karya) yang pernah dikenalkan oleh tokoh
pergerakan nasional Ki Hajar Dewantoro.
Keempat,
mempunyai kejujuran dan integritas moral. Seorang pemimpin, sebagai
suri tauladan bagi “gembala” harus senantiasa mengedepankan nilai-nilai
kejujuran, meskipun kepada hewan piaraan. Seorang pemimpin juga harus
mempunyai integritas moral yang tinggi sebagai “garansi” bagi
kepercayaan masyarakat.
Kelima,
kreatif dan tak kenal menyerah. Seorang pemimpin dituntut untuk secara
kreatif mampu melakukan terobosan strategis guna menjawab berbagai
persoalan dan tantangan yang dihadapi. Dalam proses kepemimpinan selalu
ada masalah yang harus diselesaikan secara cepat dan akurat. Nah, tugas
seorang pemimpin adalah menemukan solusi guna mencari jalan pemecahan
atas masalah yang terjadi, dengan melibatkan seluruh anggota masyarakat
tersebut.
Setidaknya,
dengan kelima syarat kepemimpinan tersebut di atas, langgam
kepemimpinan akan dapat menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi
masyarakat yang dipimpinnya.
Makna Hijrah
Setelah
Muhammad SAW diangkat menjadi nabi, setelah turun wahyu pertama QS.
Al-‘Alaq 1 – 5, tantangan dari kaum kafir Quraiys sangat besar, sehingga
proses dakwah Islam berjalan dengan tertatih tatih dan mengalami ujian
yang sangat berat.
Di tengah himpitan dan tekanan kaum Quraisy kepada proses dakwah yang dilakukan Nabi SAW, muncul gagasan untuk melakukan hijrah ke yatsrib, yang kemudian dikenal sebagai Madinatur Rasul (Kota Rasul) tersebut.
Dipilihnya kota
Madinah sebagai basis dakwah menunjukkan kepiawaian strategi dakwah
Nabi. Hal ini setidaknya karena dilatarbelakangi oleh beberapa faktor,
pertama, adanya komunitas muslimin yang siap membantu aktifitas dakwah,
sebagai tulang punggung. Kedua, adanya tokoh-tokoh berpengaruh dari Bani
Aus dan Khazraj, yang memungkinkan diterimanya ajakan dakwah secara
luas dan cepat. Ketiga, adanya basis ekonomi pertanian dan perdagangan
yang kuat di masyarakat Madinah, sehingga dapat mengembangkan kemandirin ekonomi, dan bahkan menandingi hegemoni kaum Quraisy.
Di
tambah lagi adanya dua kekuatan ekonomi masyarakat, dari kaum Muhajirin
dan Anshar, yang saling bersinergi dan saling melengkapi. Yang pertama sebagai
penggarap dan yang kedua sebagai penyedia lahan. Kerja sama ekonomi ini
tercermin dalam konsep mudharabah, syirkah, dan sejenisnya dalam
terminologi fikih Islam.
Dengan
membangun komunikasi di bidang ekonomi, Nabi SAW berhasil mempersatukan
dua komunitas yang berbeda, dalam bingkai persaudaraan Islam (ukhuwwah
Islamiyah) yang kemudian menjadi tulang punggung keberhasilan dakwah
Islam. Dari sinilah akar kejayaan Islam tersemai, yang akhirnya mampu
melahirkan sebuah peradaban yang mencengangkan dunia.
Dalam
perspektif Islam, seorang pemimpin mempunyai fungsi ganda, yaitu
sebagai khalifatullah (wakil Tuhan) di bumi yang mempunyai tugas
merealisasikan misi kenabian sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta.
Seluruh kreativitas kepemimpinan harus diarahkan pada pemberdayaan
potensi untuk mewujudkan kesejahteraan, menuju masyarakat yang
berkeadaban. Selain itu, ia juga menyandang tugas dan fungsi sebagai
Abdullah (hamba Tuhan) yang harus patuh dan tunduk pada setiap ketentuan
yang digariskan-Nya, dengan senantiasa mengabdikan segenap dedikasi
kita untuk mencapai keridhaan Allah.
Di
sinilah letak perbedaan konsepsi kepemimpinan antara Islam, yang
mempunyai dua dimensi, dengan kepemimpinan Barat yang hanya mengenal
satu aspek. Selebihnya, mari kita tiru gaya kepemimpinan Nabi SAW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar