Apa Dan Bagaimana Thoharoh (Cara Bersuci)?
Secara ,bahasa ath-thaharah maknanya ialah kesucian dan
kebersihan dari segala yang tercela, baik dhahir maupun batin (Lihat
Syarah Shahih Muslim lin Nawawi juz 3 hal. 455 dan Tuhfatul Ahwadzi
Syarah Sunan At-Tirmidzi , Al-Mubarakfuri jilid 1 hal. 18). Sedangkan
makna ath-thaharah dalam istilah fiqh ialah hilangnya perkara yang
menghalangi sahnya shalat. Dan perkara yang menghalangi sahnya shalat
itu ialah hadats atau najis. Sedangkan
menghilangkan hadats atau najis itu dengan air atau debu. (Lihat
Al-Mughni fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hanbal , Ibnu Qudamah, jilid 1 hal.
21).
Hadats
itu ialah kondisi seorang Muslim yang sedang batal wudlunya karena
keluarnya sesuatu dari dua jalan (yaitu jalan kemaluan depan yang
diistilahkan dengan qubul dan jalan kemaluan belakang yang diistilahkan
dengan dubur ), atau batalnya wudlu karena berhubungan badan antara
suami dengan istri, yaitu ketika kemaluan pria telah masuk ke kemaluan
wanita walaupun tidak keluar mani, maka batal pula wudlunya. Sehingga
bila seseorang itu dikatakan ber hadats , maknanya ialah bila dia telah
batal wudlunya karena sebab-sebab tersebut.
Jadi
ath-thaharah itu menurut istilah fiqh maknanya ialah bila seorang
Muslim telah bersih dari hadats dan najis sehingga secara dhahir dapat
menunaikan shalat sebagaimana mestinya.
BEBERAPA KETENTUAN DI SEPUTAR HADATS
Istilah
hadats telah dikenal para ahli fiqh yang diambil dari antara lain sabda
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sebagaimana berikut ini:
Dari
Abu Hurairah radliyallahu `anhu , beliau berkata: Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Tidak diterima shalatnya orang
yang ber hadats sehingga dia berwudlu.” Berkata seseorang dari
Hadramaut: “Apakah yang dimaksud hadats itu wahai Abu Hurairah?” Beliau
menjawab: “Ialah keluar angin atau kentut.” (HR. Bukhari dalam Kitab
Shahih nya, Kitabul Wudlu’ bab La Tuqbalus Shalatu bi Ghairi Thahur
hadits ke 135)
Ibnu
Hajar Al-Aqalani rahimahullah menerangkan: “Yang dimaukan dengan hadats
ini ialah apa saja yang keluar dari dua jalan ( qubul dan dubur ). Abu
Hurairah menafsirkan dengan secara khusus demikian adalah karena ingin
memberikan peringatan tentang terjadinya hadats yang paling ringan,
karena keluar angin atau ketut itu adalah hadats yang paling sering
terjadi ketika dalam shalat. Dan adapun jenis hadtas yang lainnya telah
diterangkan oleh para ulama, seperti menyentuh kemaluan, menyentuh
perempuan, muntah sepenuh mulut, berbekam. Bisa jadi Abu Hurairah
menerangkan demikian karena beliau tidak memandang hadats itu kecuali
karena sesuatu yang keluar dari dua jalan sehingga hal-hal yang
diterangkan para ulama tersebut tidak termasuk dalam perkara hadats .
Demikian pula Al-Bukhari sependapat dengan Abu Hurairah.” ( Fathul Bari ,
Ibnu Hajar al-Asqalani, jilid 1 hal. 235)
Para ulama menerangkan bahwa hadats itu ada dua:
1). Al-Hadatsul Asghar , yakni hadats kecil yang meliputi segenap pembatal wudlu, yang hanya dihilangkan dengan berwudlu saja.
2).
Al-Hadatsul Akbar , yakni hadats besar yang meliputi segenap pembatal
wudlu yang harus dihilangkan dengan mandi yang disertai wudlu padanya
dan mandi yang demikian ini dinamakan mandi junub.
Tetapi
kemudian yang masyhur, hadats itu ialah pembatal-pembatal wudlu yang
hanya dihilangkan dengan berwudlu saja atau yang dinamakan al-hadatsul
ashgar ( hadats kecil). Sedangkan al-hadatsul akbar sering disebut
junub, haidl atau nifas. (Lihat Mushannaf , Al-Imam Abdurrazaq bi Hammam
As-Shan`ani, jilid 1 hal. 138 bab Al-Wudlu’ minal Hadats ).
KEUTAMAAN THAHARAH
Setelah
kita mengerti perkara najis dalam pembahasan yang lalu dan perkara
hadats , maka perlu juga kita mengerti keutamaan ath-thaharah di sisi
Allah Ta`ala terutama dalam kaitannya dengan ibadah kepada Allah Ta`ala.
Kita dapati antara lain firman Allah di dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang banyak bertaubat dan orang-orang yang
melakukan amalan thaharah (bersuci).” ( Al-Baqarah : 222)
Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Berthaharah
itu (yakni bersuci itu) adalah separoh dari iman.” (HR. Muslim dalam
Shahih nya, Kitabut Thaharah hadits ke 223 dari Abi Malik Al-Asy’ari
radliyallahu `anhu ).
Dan beliau shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Kuncinya
shalat itu ialah ber thaharah , dan pengharamannya (yakni mulai
diharamkan berbicara dalam shalat) ialah takbir (yaitu takbir permulaan
shalat atau dinamakan takbiratul ihram), dan penghalalannya ialah salam
(yakni halal kembali berbicara setelah berakhirnya shalat dengan
mengucapkan salam).” (HR. Tirmidzi dalam Sunan nya dari Ali. Abu Isa
(yakni At-Tirmidzi) berkata: “Hadits ini paling shahih dan paling baik
dalam bab ini.”).
BENDA-BENDA YANG TIDAK TERGOLONG NAJIS
Kita
telah membahas sebelum ini satu kaidah bahwa hukum asal segala benda
itu adalah tidak najis kecuali bila ada keterangan dari Al-Qur’an dan
Al-Hadits bahwa benda itu najis, barulah kita menganggapnya najis.
Tetapi dalam pembahasan ini perlu pembaca sekalian memahami bahwa ada
beberapa benda yang sesungguhnya tidak najis, tetapi oleh banyak orang
dianggap najis. Benda-benda yang tidak tergolong najis itu ialah:
1).
Air mani manusia Muslim. Air mani merupakan pengecualian dari ketentuan
tentang najisnya segala perkara yang keluar dari dua jalan, walaupun
keluarnya mani menyebabkan batalnya wudlu. Yang demikian ini karena
adanya beberapa riwayat Aisyah Ummul Mukminin radliyallahu `anha tentang
tidak najisnya air mani seorang Muslim. Aisyah menyatakan:
“Sungguh
aku pernah melihat mani kering di baju Rasulullah shallallahu `alaihi
wa sallam dan aku mengeriknya dalam keadaan kering itu dengan kukuku.”
(HR. Muslim dalam Shahih nya Kitabut Thaharah bab Hukmul Mani hadits ke
290 dari Abdillah bin Syihab Al-Khaulani).
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah menerangkan: “Dan banyak dari para ulama
berpendapat bahwa mani itu adalah suci. Telah diriwayatkan yang demikian
ini adalah pendapatnya Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqas, Ibnu
Umar, Aisyah, Daud (yakni Adl-Dlahiri), Ahmad (yakni: bin Hanbal) dalam
riwayat yang shahih dari dua riwayat tentang pendapat beliau, dan yang
demikian ini pula merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’i dan juga pendapat
para Ahli Hadits.” ( Syarah Shahih Muslim lin Nawawi juz 3 hal. 530).
2).
Kotoran dan air kencing hewan yang dagingnya halal dimakan. Seperti
kotoran dan kencing kambing, sapi, unta dan lain-lainnya. Karena
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan kepada
orang-orang Uraniyyin (yakni orang-orang dari suku Urainah) untuk
berobat dari penyakit perut yang dideritanya dengan minum air kencing
unta dan air susunya. Demikian diriwayatkan oleh Anas bin Malik dalam
Shahih Bukhari Kitabul Wudlu’ bab Abwabil Ibil wad Dawab hadits ke 233.
Juga Anas meriwayatkan sebagaimana dalam Shahih Bukhari hadits ke 234
bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat di tempat tambatan
kambing sebelum dibangunnya masjid beliau di Madinah. Maka dua riwayat
tersebut menunjukkan bahwa kencing unta bukanlah benda najis, sebab
kalau ia adalah benda najis, tidak mungkin dijadikan obat oleh beliau,
karena beliau tidak akan menjadikan sesuatu yang najis atau haram untuk
dijadikan obat. Demikian pula tentang air kencing dan kotoran kambing,
bila dianggap najis maka tidak mungkin beliau shalat di tempat tambatan
kambing. Cukuplah alasan menunjukkan tidak najisnya kotoran dan air
kencing kambing. Sehingga dipahami dari dua riwayat tersebut bahwa hewan
yang oleh Allah Ta`ala dagingnya halal dimakan, maka air kencing dan
kotorannya tidaklah najis.” (Lihat Majmu’ Fatawa , Ibnu Taimiyah jilid
21 hal. 534 – 587).
3).
Bekas air mandi dan air wudlu seorang Muslim pria maupun wanita
tidaklah najis. Demikian pula bersalaman dengan seorang Muslim yang
sedang dalam keadaan junub, tidak pula najis. Karena adanya penegasan
yang demikian dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam :
“Hanyalah
seorang Muslim itu tidaklah najis.” (HR. Muslim dalam Shahih nya
Kitabul Haidl bab Ad-Dalil `ala `Annal Muslima la Yanjus dari Hudzaifah
hadits ke 372)
Dari
Ibni Abbas radliyallahu `anhuma , dia berkata: Bahwa sesungguhnya
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mandi dengan air bekas mandinya
Maimunah.” (HR. Muslim dalam Shahih nya Kitabul Haidl hadits ke 323).
4).
Darah atau nanah yang keluar dari tubuh seorang Muslim dan darah itu
bukan keluar dari qubul ataupun dubur , maka darah ini juga tidak
teranggap najis. Karena telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan
nya bahwa seorang shahabat Nabi dari kalangan Anshar ketika sedang
menjaga suatu lembah dari serangan musuh, dia menyibukkan diri dengan
shalat. Ketika itu dia terkena panah musuh dalam keadaan shalat dan
mengalirlah darah dari luka yang dideritanya. Shahabi tersebut tidak
membatalkan shalatnya, yang berarti menunjukkan bahwa darah yang keluar
dari selain dua jalan, tidaklah dianggap najis dan tidak membatalkan
wudlu. (Lihat Sunan Abi Dawud Kitabut Thaharah bab Wudlu’ minad Dam
hadits ke 198 dari Jabir radliyallahu `anhu . Juga lihat Syarhus Sunnah
Al-Baghawi Kitabul Haidl bab Man Shalatahu Addam riwayat ke 330 jilid 1
hal. 425 – 426).
5).
Sesuatu yang keluar dari mulut karena muntah atau pun ingus atau ludah
seorang Muslim juga tidak dianggap najis. Al-Imam Ibnu Hazmin
rahimahullah menerangkan: “Alasan bagi kami bahwa tidak ada kewajiban
wudlu ketika terkena perkara-perkara tersebut ialah karena tidak ada
keterangan dalam Al-Qur’an dan tidak pula dalam hadits. Bahkan tidak ada
dalam ijma’ (kesepakatan para shahabat Nabi) yang mewajibkan orang
untuk berwudlu karenanya.” ( Al-Muhalla , Ibnu Hazm, jilid 1 hal. 236
masalah ke 169)
CARA BERTHAHARAH DARI NAJIS ATAU PUN HADATS
Alat
ber thaharah (yakni bersuci) dari najis atau hadats itu ialah dengan
air yang suci dari najis. Sedangkan air yang suci dari najis itu ialah
air yang tidak terdapat padanya warna atau pun bau najis. Allah Ta`ala
menegaskan tentang kedudukan air sebagai alat untuk bersuci dari najis
dan hadats :
“Dan Kami turunkan air dari langit sebagai alat bersuci.” ( Al-Furqan : 48)
Juga firman-Nya:
“Dan
Allah turunkan air dari langit kepada kalian agar Dia mensucikan kalian
dengannya dari najis dan agar menghilangkan was-was syaithan.” (
Al-Anfal : 11)
Diriwayatkan sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang masalah air untuk bersuci ini:
Dari
Rasyid bin Sa’ad dari Abu Umamah dari Nabi shallallahu `alaihi wa
sallam beliau bersabda: “Sesungguhnya air itu sifatnya suci dan
mensucikan kecuali bila berubah baunya, atau rasanya, atau warnanya
dengan benda najis yang jatuh ke dalamnya.” (HR. Al-Baihaqi dalam
Sunanul Kubra jilid 1 hal. 260).
Maka
dengan demikian, air itu tetap pada fungsinya sebagai alat be rthaharah
dari najis dan hadats selama tidak ada bau benda najis padanya, atau
selama tidak ada padanya warna dari warna benda najis.
Adapun
cara be rthaharah dari benda najis itu ialah dengan mengalirkan air
pada bagian yang terkena najis hingga hilang bekas-bekas najis padanya.
Dan bekas-bekas najis itu ialah bau, warna dan rasanya. Hal ini
dicontohkan oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dalam suatu
peristiwa berikut ini:
Dari
Anas, dia berkata: Telah datang seorang Arab dari pegunungan, kemudian
dia kencing di salah satu pojok masjid. Maka orang-orang pun
menghardiknya, dan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melarang
mereka untuk menghardiknya. Maka ketika orang gunung itu telah selesai
dari kencingnya, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan
untuk diambilkan seember air dan kemudian air itu dituangkan pada tempat
yang dikencingi oleh orang gunung itu.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam
Shahih keduanya)
Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam menuntunkan cara membersihkan najis
dengan cara menyiramkan air padanya adalah karena masjid beliau waktu
itu lantainya berupa tanah berpasir, sehingga dengan disiram air
sebanyak itu, akan hilang bau dan bekas najis yang lainnya. Adapun bila
air kencing itu mengena pada lantai, maka air kencing yang membasahi
lantai itu haruslah dilap dulu dengan lap kering dan tidak digosokkan
lap itu di lantai tersebut pada tempat di sekitarnya agar najis itu
tidak menyebar pada tempat yang lebih luas. Setelah itu lap yang dipakai
mengeringkan lantai dari air kencing atau kotoran atau pun najis yang
lainnya itu dibasuh dengan air bersih sehingga benar-benar diyakini
bahwa najis yang ada pada lap itu telah tiada karena bekas-bekasnya
telah hilang. Kemudian lantai itu pun dibasuh lagi dengan lap basah yang
telah suci dari najis, kemudian lap itu dibasuh lagi dengan air bersih,
berulang-ulang dua atau tiga kali sehingga diyakini bahwa bekas-bekas
najis di lantai itu telah hilang. Demikian pula mencuci kain yang
terkena najis, dengan cara mencucinya dengan air bersih sampai
bekas-bekas najisnya hilang. Tetapi bila sudah dicuci dengan
sungguh-sungguh kain itu namun sebagian bekas najisnya masih belum
hilang, maka yang demikian ini tidaklah mengapa. Hal ini telah
diterangkan dalam riwayat berikut ini:
Dari
Abu Hurairah radliyallahu `anhu bahwa Khaulah bintu Yasar pernah
mendatangi Nabi shallallahu `alaihi wa sallam . Maka dia pun bertanya
kepada beliau: “Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki baju kecuali hanya
sepotong saja yang aku pakai ketika dalam keadaan haidl, maka bagaimana
pula yang harus aku lakukan?” Beliau menjawab: “Apabila telah berhenti
haidl-mu, maka cucilah baju itu.” Khaulah bertanya lagi: “Bagaimana
kalau bekas darahnya tidak bisa hilang dengan dicuci?” Beliau menjawab:
“Cukup bagimu dengan dicucinya darah yang mengena baju itu. dan tidak
mengapa bekas darah haidl yang tidak bisa hilang itu.” (HR. Abu Dawud
Kitabut Thaharah bab Keterangan tentang Wanita yang Mencuci Bajunya yang
Dipakainya ketika Haidl , hadits no. 365)
Sedangkan
cara bersuci dari hadats kecil ialah dengan berwudlu, dan cara bersuci
dari hadats besar ialah dengan mandi junub, yang dinamakan juga mandi
wajib.
MENCUCI BEJANA YANG DIJILAT ANJING
Islam
memberi tuntunan dalam perkara jilatan anjing ini dengan cara pencucian
yang khusus. Yaitu sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam berikut ini:
“Sucinya
bejana tempat air kalian apabila dijilat anjing padanya, maka cucilah
bejana itu dengan air sebanyak tujuh kali, didahului dengan menggosoknya
dengan tanah.” (HR. Muslim hadits ke 279 / 91 dari Abi Hurairah
radliyallahu `anhu )
Tuntunan
yang demikian ini ialah bila anjing menjilat tempat air. Al-Imam
An-Nawawi menerangkan: “ Para ahli bahasa Arab menerangkan: Kalimat di
hadits ini maknanya ialah: Apabila anjing itu minum dengan menjilat air
menggunakan ujung lidahnya.” Abu Zaid berkata: “Yang demikian itu
apabila anjing itu menjilat minuman kita, dan pada minuman kita, atau ia
minum dari minuman kita.” ( Syarah Shahih Muslim , Al-Imam An-Nawawi,
juz 3 hal. 519)
Adapun
bila anjing itu menjilat selain tempat air, maka cara mencucinya sama
dengan cara mencuci benda najis yang lainnya, yaitu sampai bekas
najisnya telah hilang. Dan bila dia menjilat tanah, maka tidak perlu
adanya pencucian karena najisnya telah gugur dengan tanah itu. (Lihat
Al-Muhalla , Ibnu Hazm, jilid 1 hal. 120 masalah ke 127)
Dan
mencuci bejana tempat air yang dijilat anjing tidak dapat digantikan
dengan cairan sabun atau cairan pengganti lainnya. Karena cara pencucian
yang dituntunkan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam adalah perkara
ibadah, tidak dapat digantikan dengan cara lainnya yang tidak pernah
diajarkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam .
PENUTUP
Demikianlah
tuntunan Islam dalam perkara at-thaharah. Tuntunan tersebut semakin
menunjukkan betapa Islam itu adalah agama yang diajarkan dengan
mencocoki fitrah manusia. Dan janganlah kita mempertentangkan tuntunan
Al-Qur’an dan Al-Hadits ini dengan akal fikiran yang amat terbatas
kemampuannya. Karena perkara at-thaharah ini adalah termasuk perkara
ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta`ala.
DAFTAR PUSTAKA:
1). Al-Qur’anul Karim
2). Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari , Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Maktabah As-Salafiyah, tanpa tahun.
3). Talkhisul Habir , Ibnu Hajar Al-Asqalani, Mu`assasah Qurtubah, th. 1416 H / 1995 M.
4). Shahih Muslim bi Syarah An-Nawawi , penerbit Darul Khair, Damaskus – Beirut , cetakan pertama, th. 1414 H / 1994 M.
5). Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab , Al-Imam Abu Zakaria Muhyidin bin Syaraf An-Nawawi, Darul Fikr, 1414 H / 1994 M.
6). Al-Hawil Kabir , Al-Imam Abil Hasan Al-Mawardi, Darul Fikr, th. 1414 H / 1994 M.
7). Al-Mughni fi Fiqih Al-Imam Ahmad bin Hanbal , Al-Imam Abi Muhammad ibnu Qudamah, Darul Fikr, th. 1405 H / 1985 M.
8). Majmu’ Fatawa , Ibnu Taimiyah, Mujamma’ Al-Malik Fahad, Al-Madinah Al-Munawarrah, th. 1416 H / 1995 M.
9). Sunan Abu Dawud , Al-Imam Abu Dawud As-Sijistani, Darur Rayyan lit Turats, th. 1408 H / 1988 M.
10). Al-Mushannaf , Al-Imam Abdurrazaq bin Hammam As-Shan`ani, Al-Majlisul `Ilmi, Beirut – Libanon, tanpa tahun.
11). Sunan At-Tirmidzi , Al-Imam Abu Isa At-Tirmidzi, Darul Kutub Al-Ilmiyah, th. 1356 H / 1937 M.
12). Syarhus Sunnah , Al-Imam Al-Baghawi, Darul Fikr, th. 1414 H / 1994 M.
13). Al-Muhalla , Al-Imam Ibnu Hazm, Darul Fikr, tanpa tahun.
14). As-Sunanul Kubra , Al-Imam Al-Baihaqi, Darul Fikr, tanpa tahun
Cara Berwudlu
Berwudlu’ adalah salah satu dari syarat sahnya shalat,
sebagaimana hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi
wa sallam dalam sabda beliau berikut:
“Tidak
diterima shalat salah seorang dari kalian, apabila dia berhadats (yakni
batal wudlunya, pent), sehingga dia berwudlu.” (HR. Muslim dalam Shahih
nya halaman 459 juz 3 Bab Wujubut Thaharah lis Shalah no hadits 225 /
2, dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu ).
Dengan
berita dari Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam seperti ini,
kita telah mengetahui bahwa berwudlu adalah amalan ibadah yang sangat
penting untuk dipahami dan diamalkan dengan benar.
BEBERAPA KETENTUAN DI SEPUTAR IBADAH
Karena
wudlu’ merupakan bagian terpenting dari ibadah, maka pelaksanaannya
harus pula dengan menunaikan ketentuan-ketentuan utama dari ibadah.
Ketentuan-ketentuan utama tersebut adalah sebagai berikut:
1).
Amalan itu harus dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata. Hal ini
berkenaan dengan ketentuan hati dalam meniatkannya. Sebab amalan ibadah
yang tidak diniatkan untuk Allah semata, maka amalan itu akan sia-sia
dan tidak ada nilainya sama sekali. Allah Ta`ala menegaskan ketentuan ini dalam firman-Nya sebagai berikut :
“Dan
sungguh telah diwahyukan kepadamu (hai Muhammad) dan kepada Nabi-Nabi
sebelummu, bahwa bila engkau menyekutukan Allah dengan lain-Nya dalam
ibadahmu, niscaya akan batallah amalanmu. Dan sungguh engkau akan
termasuk dalam golongan orang-orang yang merugi.” ( Az-Zumar : 65)
2).
Amalan itu haruslah dilakukan dengan tuntunan dari Nabi Muhammad
shallallahu `alaihi wa sallam . Hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam dalam sabda beliau sebagimana berikut
ini:
“Barang siapa beramal dengan suatu amalan yang bukan dari ajaran kami, maka dia itu tertolak amalannya”. (HR. Muslim )
Maka
dengan dua ketentuan tersebut, berwudlu haruslah dengan membersihkan
hati kita dari segala niat untuk selain Allah serta memurnikan niat kita
berwudlu’ hanya untuk Allah semata, dan kita juga harus mengerti apa
yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam dalam
kaitannya dengan seputar amalan wudlu tersebut. Dengan ketentuan
tersebut, kita dilarang ikut-ikutan dalam mengamalkan kewajiban
berwudlu, tetapi harus memastikan secara ilmiah bahwa cara berwudlu kita
itu memang telah sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu
`alaihi wa sallam .
KEUTAMAAN BERWUDLU’ BAGI KAUM MU’MININ
Agar
kita menjadi lebih bersemangat mengamalkan tuntunan berwudlu dengan
benar dalam rangka beribadah kepada Allah Ta`ala, perlu juga kita
mengerti beberapa keutamaan amalan wudlu’ di sisi Allah Ta`ala.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah memberitakan beberapa
keutamaan itu dalam sabda-sabda beliau berikut ini:
“Sesungguhnya
ummatku akan datang di hari kiamat dalam keadaan bersinar anggota
tubuhnya karena bekas terkena air wudlu. Maka barang siapa dari kalian
ingin memanjangkan sinar anggota tubuhnya yang terkena wudlu, hendaklah
dia lakukan.” (HR. Muslim dalam Shahih nya juz 3 halaman 483 bab
Istihbab Ithalatul Ghurrah wat Tahjil fil Wudlu’ , dari Abi Hurairah
radliyallahu `anhu . Hadits ini diriwayatkan pula oleh Al-Imam
Al-Bukhari dalam Shahih nya Kitabul Wudlu’ bab Fadl-lul Wudlu’ wal
Ghurrul Muhajjalin min Aatsaril Wudlu’ dengan lafadh yang sedikit
berbeda).
Pengertian
“ memanjangkan sinar anggota tubuhnya yang terkena wudlu ”, ialah bahwa
ketika berwudlu membasuh dengan air wudlu anggota tubuhnya lebih
panjang dari batas minimal ketentuan membasuh anggota tubuh itu.
Misalnya batas minimal membasuh kedua tangan adalah kedua siku. Maka
dalam rangka memanjangkan sinar anggota tubuh yang terkena air wudlu
itu, diperbolehkan memanjangkannya sampai ke ketiak. Demikian pula batas
membasuh kedua telapak kaki adalah kedua mata kaki. Maka dalam rangka
tujuan yang sama, boleh membasuhnya sampai ke lutut. Demikian dijelaskan
oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim juz 3 hal. 482.
Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah
seorang Muslim berwudlu, kemudian dia melakukannya dengan
sebaik-baiknya, kemudian setelah itu dia menunaikan shalat, kecuali
Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang terjadi di masa antara shalatnya
itu dengan shalat berikutnya.” (HR. Muslim dalam Shahih nya juz 3
halaman 464 no hadits 227/5 bab Kitabut Thaharah bab Fadllul Wudlu’ was
Shalah Aqibahu , dari Utsman bin Affan radliyallahu `anhu ).
Juga beliau bersabda:
“Barangsiapa
berwudlu, dan ia menjalankannya dengan baik, niscaya akan keluar
dosa-dosanya dari jasadnya, sampaipun akan keluar dari bawah
kuku-kukunya.” (HR. Muslim dalam Shahih nya juz 3 Kitabut Thaharah bab
Wujub Isti’ab Jami’i Ajza’Mahallait Thaharah , dari Utsman bin Affan
radliyallahu `anhu ).
Dan
masih banyak lagi riwayat-riwayat shahih dari sabda Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam yang menerangkan betapa besar keutamaan wudlu’ yang
dilakukan oleh seorang Mukmin apabila wudlu tersebut diamalkan dengan
benar. Di samping dapat menghapuskan dosa-dosa kita, keutamaan berwudlu
lainnya ialah bahwa Ahlul Wudlu’ (yakni orang yang suka berwudlu’) akan
sangat dikenali oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di hari
kiamat dengan sinar kemuliaan dari anggota tubuhnya yang terkena air
wudlu. Tentu orang yang dikenali oleh beliau sebagai ummat beliau di
hari kiamat, akan disyafaati oleh beliau dengan ijin Allah Ta`ala.
TUNTUNAN BERWUDLU’ YANG BENAR
Agar
kita dapat menjalankan kewajiban berwudlu’ dengan benar dan baik,
sehingga kita memperoleh segenap keutamaan berwudlu’ sebagaimana yang
telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam , maka
kita wajib mempelajari bagaimana cara berwudlu’ yang benar. Berikut ini
kami bawakan riwayat-riwayat tuntunan berwudlu’ dari Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam serta penjelasan para Ulama’ tentangnya.
Sebelum kita membahas tuntunan wudlu’ sebagaimana yang dicontohkan oleh
Nabi kita, perlu kita memahami firman Allah Ta`ala yang menjelaskan cara
berwudlu’ sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an surat Al-Ma’idah 6:
“Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kalian berdiri untuk menunaikan
shalat, maka cucilah wajah kalian dan kedua tangan kalian sampai ke
kedua siku. Dan usaplah dengan air wudlu kepala kalian. Dan cucilah
kedua telapak kaki kalian sampai ke kedua mata kaki.” ( Al-Maidah : 6)
Para
Ulama’ menyatakan bahwa apa yang disebutkan oleh Allah Ta`ala di ayat
ini adalah amalan yang wajib dalam berwudlu’. Demikian diterangkan oleh
Al-Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya dalam Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an
jilid 3 halaman 2080. Adapun niat, itu sudah termasuk kewajiban berwudlu
yang disebutkan oleh ayat ini, ketika Allah menyatakan dalam firman-Nya
(yang artinya): “ Dan apabila kamu berdiri untuk shalat, maka cucilah
wajah kalian .” Jadi mencuci wajah dan selanjutnya adalah dalam rangka
menunaikan shalat. Ini adalah isyarat dari Allah Ta`ala tentang wajibnya
niat untuk melaksanakan wudlu’. Demikian diterangkan oleh Al-Imam
Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir jilid 2 halaman 18. Sedangkan amalan
berwudlu’ yang lainnya adalah merupakan adab dan sunnah, sebagaimana hal
ini ditegaskan oleh Al-Imam Al-Qurtubi. Demikianlah keterangan Allah
Ta`ala dalam firman-Nya di Al-Qur’an tentang cara berwudlu’.
Adapun
keterangan dalam hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa
sallam tentang tuntunan berwudlu’ secara lengkap adalah sebagai berikut:
Dari
Humran maula Utsman bin Affan radliyallahu `anhu memberitakan bahwa dia
pernah melihat Utsman bin Affan meminta disediakan air wudlu. Kemudian
beliau menuangkan dari bejana itu kepada kedua telapak tangannya
sehingga mencucinya tiga kali. Kemudian beliau memasukkan telapak tangan
kanannya ke dalam air itu guna mengambil air dengannya untuk
berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung serta mengeluarkannya.
Setelah itu beliau mencuci wajah beliau sebanyak tiga kali. Kemudian
mencuci kedua tangannya sampai ke siku sebanyak tiga kali. Selanjutnya
beliau mengusap kepalanya dengan air itu, dan setelah itu beliau mencuci
kedua kakinya masing-masing sebanyak tiga kali. Kemudian setelah itu
beliau menyatakan: “Aku melihat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
berwudlu’ seperti wudlu’ku ini.” (HR. Bukhari dalam Shahih nya, Kitabul
Wudlu’ Bab Al-Madlmadlah fil Wudlu’ hadits ke 164, lihat Fathul Bari
juz 1 halaman 266 no hadits 164)
Abdullah
bin Zaid radliyallahu `anhu ketika ditanya bagaimana cara wudlu’
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam , maka beliau pun memperagakan
bagaimana cara berwudlu’ Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dengan
mencuci kedua telapak tangannya masing-masing dua kali. Kemudian beliau
berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung (serta mengeluarkannya,
pent) sebanyak tiga kali. Setelah itu mencuci wajahnya tiga kali dan
kemudian mencuci kedua tangannya sampai ke kedua sikunya masing-masing
dua kali. Kemudian mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya
dengan cara meletakkan kedua telapak tangannya di bagian depan rambut
kepalanya dan menggerakkan kedua telapak tangan itu ke bagian belakang
kepalanya dan kembali lagi ke depan. Demikian beliau lakukan dalam
mengusap kepala dan dilakukan hanya sekali, sebagaimana diterangkan
demikian dalam Shahih Muslim – Kitabut Thaharah Bab Shifatul Wudlu’
hadits ke 235, pent. Kemudian beliau mencuci kedua kaki beliau.” (HR.
Bukhari dalam Shahih nya, Kitabul Wudlu’ Bab Mas-hur Ra’si Kullihi ,
hadits ke 185).
Riwayat
Abdullah bin Zaid ini memberitakan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi
wa sallam mencuci kedua tangannya masing-masing dua kali. Sedangkan
dalam riwayat Utsman bin Affan, beliau memberitakan bahwa mencuci tangan
itu tiga kali. Bahkan dalam riwayat lain, Abdullah bin Zaid
menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam membasuh
anggota badannya dalam berwudlu, masing-masing dua kali. (HR. Bukhari
hadits ke 158, Bab Al-Wudlu’ Marratain Marratain ). Juga Abdullah bin
Abbas radliyallahu `anhuma menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam berwudlu dengan membasuh anggota badannya
masing-masing sekali. (HR. Bukhari hadits ke 157, Bab Al-Wudlu’ Marratan
Marratan ). Maka dengan demikian, kewajiban membasuh anggota badan
dalam berwudlu’ itu boleh sekali, atau dua kali, dan boleh juga tiga
kali. Yang terpenting daripadanya ialah bila air wudlu’ itu dipastikan
telah merata mengenai seluruh anggota badan yang wajib terkena air
wudlu’ itu.
Di
samping itu dalam riwayat Abdullah bin Zaid di atas telah diberitakan
cara yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
dalam mengusap kepala dengan air wudlu’. Yaitu dengan mengusapkan kedua
telapak tangan yang telah dicelupkan ke dalam air wudlu’, dan diletakkan
di bagian dahi paling atas. Kemudian kedua telapak tangan itu
digerakkan ke arah kepala bagian belakang atau tengkuk, setelah itu
dikembalikan kedua telapak tangan itu ke tempat semula (yaitu bagian
depan kepala atau bagian atas dahi). Yang demikian itu dilakukan hanya
sekali, bukan dua kali atau lebih. Demikianlah semestinya mengusap
kepala dalam berwudlu’ sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam .
Sedangkan
ketentuan lain daripada wudlu’ itu ialah memulainya dari bagian kanan
dari anggota badan yang dibasuh itu, setelah itu baru sebelah kiri.
Karena hal ini telah diberitakan oleh A’isyah Ummul Mu’minin
radliyallahu `anha bahwa: “Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam itu
senang memulai dengan bagian kanannya dalam memakai alas kaki, atau
dalam bersisir, dan dalam bersuci, serta dalam segala urusannya (yang
mulia, pent).” Demikian dalam hadits riwayat Bukhari dalam Shahih nya,
Kitabul Wudlu’ Bab Tayammunu fil Wudlu’ wal Ghusli , hadits ke 168.
Adapun
permasalahan mengusap kedua daun telinga, maka dalam perkara ini telah
diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunan nya dalam Abwabut
Thaharah Bab Ma Jaa’a annal Udzunain Minar Ra’si dari Abu Umamah
radliyallahu `anhu hadits ke 37 yang memberitakan: “Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam berwudlu’, kemudian beliau mencuci wajahnya tiga kali,
dan kedua tangannya tiga kali. Dan beliau mengusap kepalanya, dan
beliau menyatakan: “Kedua telinga adalah bagian dari kepala (yakni
bagian kepala yang harus diusap dengan air wudlu’, pent).” Hadits ini
diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dalam Sunan nya dan Ibnu Majah dalam
Sunan nya. Al-Imam Ahmad Syakir rahimahullah telah menerangkan panjang
lebar tentang keshahihan hadits ini dan membantah segala keraguan
tentang keshahihannya, dalam catatan kaki beliau terhadap Sunan
At-Tirmidzi terbitan Darul Kutub Al-Ilmiyah cet. th. 1356 H / 1937 M.
Juga Al-Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menshahihkan
hadits ini dalam catatan kaki beliau terhadap kitab Misykatul Mashabiih
jilid 1 hal. 131 hadits ke 416. Selanjutnya, tentang cara mengusap kedua
daun telinga itu adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Abu
Dawud As-Sijistani dalam Sunan nya, Kitabut Thaharah Bab Al-Wudlu’
Tsalatsan Tsalatsan hadits ke 135 dari Amer bin Syu’aib dari bapaknya,
dari kakeknya (yakni dari Abdullah bin Amer bin Al-Ash radliyallahu
`anhuma , pent), memberitakan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam berwudlu’ (kemudian diceritakan wudlu’nya), kemudian diberitakan:
“Beliau mengusap kepalanya, kemudian beliau memasukkan kedua jari
telunjuknya ke dalam kedua lubang telinganya dan meletakkan ibu jari
beliau di bagian punggung daun telinga beliau, sehingga beliau mengusap
punggung daun telinga itu dengan ibu jari dan mengusap bagian dalam daun
telinga itu dengan jari telunjuk beliau.”
Jadi
mengusap kedua daun telinga dilakukan setelah mengusap kepala dengan
air wudlu’ dan tidak perlu mengambil air wudlu’ lagi untuk mengusap
kedua telinga itu. Akan tetapi bergandengan pengusapannya setelah
gerakan mengusap kepala.
Kemudian
permasalahan mengucap basmalah ketika akan memulai amalan wudlu’, maka
hal ini telah diriwayatkan oleh Sa’ied bin Zaid bin Amer bin Nufail
radliyallahu `anhu , bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
bersabda:
“Tidak
sah wudlu’ seseorang bila tidak membaca bismillah padanya.” (HR.
At-Tirmidzi dalam Sunan nya, Abwabut Thaharah Bab Ma Jaa’a Fit Tasmiyah
‘indal Wudlu’ dari Said bin Zaid, juga diriwayatkan pula oleh Al-Baihaqi
dengan lafadh yang sama, lihat As-Sunanul Kubra juz 1 Kitabut Thaharah
Bab At-Tasmiyah ‘alal Wudlu hal. 43 dari Abu Said Al-Khudri radliyallahu
`anhu )
Al-Imam
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Talkhisul Habir jilid 1 hal. 123 – 128
membawakan beberapa riwayat dan sanad hadits tersebut di atas, kemudian
beliau menyatakan kesimpulannya: “Yang nyata dari segenap hadits-hadits
tersebut, jadilah hadits ini mempunyai kekuatan sanad (yakni mempunyai
keakuratan berita, pent) yang menunjukkan bahwa berita tentang sabda
Nabi tersebut mempunyai asal usul (yakni nara sumbernya bisa dipercaya,
pent). Abu Bakar bin Abi Syaibah telah berkata: “Telah pasti bagi kami
bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam telah bersabda dengannya.”
Dengan
demikian, maka memulai wudlu’ dengan membaca bismillah adalah termasuk
kewajiban wudlu’ berdasarkan hadits tersebut di atas. Demikian
dinyatakan oleh dua orang Imam dari kalangan tabi`in, Ishaq bin Rahuyah
dan Al-Hasan Al-Basri rahimahumullah . Al-Imam At-Tirmidzi memberitakan
hal ini dalam Sunan nya dan Al-Mundziri dalam Targhib nya.
Dalam
menjalankan amalan wudlu’, diwajibkan pula untuk menyilang-nyilang jari
jemari tangan dan kaki agar air wudlu’ itu sampai ke seluruh tangan dan
kaki yang wajib dibasuh. Hal ini telah diperintahkan oleh Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam dalam sabda beliau sebagai berikut ini:
“Apabila
kamu berwudlu’, maka silang-silangkanlah jari-jemari kedua tanganmu dan
kedua kakimu.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan nya kitabut Thaharah jilid 1
bab Takhlilu Al-Ashabi`a halaman 57 hadits ke 39 dari Ibnu Abbas
radliyallahu `anhu , juga Ibnu Majah dalam Sunan nya Kitabut Thaharah
jilid 1 bab Takhlilu Al-Ashabi`a halaman 153 hadits ke 447 dan juga
Ahmad dalam Musnad nya dari Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma ).
Ibnu
Hajar Al-Asqalani rahimahullah telah menjelaskan dalam Talkhisul Habir
jilid 1 hal. 165 bahwa Al-Imam Al-Bukhari telah menghasankan hadits ini.
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar jilid 1 hal. 191
menyatakan: “Hadits-hadits ini menunjukkan disyariatkannya
menyilang-nyilangkan jari-jemari tangan dan kaki. Dan hadits-hadits
dalam perkara bab ini saling menguatkan satu dengan lainnya sehingga
sangat meyakinkan wajibnya perkara ini.”
Adapun
menyilang-nyilangkan jari-jemari pada jenggot dengan air wudlu dalam
berwudlu’, maka yang demikian ini adalah salah satu sunnah dari
amalan-amalan sunnah wudlu’. Berhubung apa yang diriwayatkan oleh
At-Tirmidzi dalam Sunan nya, Abwabut Thaharah Bab Ma Jaa’a fi Takhlilil
Lihyah , hadits ke 31 dari riwayat Israil yang meriwayatkannya dari Amir
bin Syaqiq. Beliau meriwayatkannya dari Abu Wa’il. Dan beliau
meriwayatkannya dari Utsman bin Affan yang memberitakan bahwa Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam menyilang-nyilang jenggot beliau (dalam
berwudlu’, pent). Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah menjelaskan:
“Muhammad bin Ismail berkata (yakni Al-Imam Al-Bukhari, pent): Hadits
yang paling shahih dalam bab ini ialah yang diriwayatkan oleh Amir bin
Syaqiq dari Abu Wa’il dari Utsman bin Affan.”
Al-Imam
Asy-Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar jilid 1 hal. 186
menjelaskan: “Yang benar bahwa hadits-hadits dalam bab ini setelah
diyakini bahwa hadits-hadits tersebut dapat dijadikan dalil, bahwa
hadits-hadits itu tidak menunjukkan wajibnya perbuatan tersebut.”
Al-Imam
Al-Mubarakfuri rahimahullah dalam Tuhfatul Ahwadzi jilid 1 hal. 129
menerangkan bahwa jumhur Ulama’ (yakni mayoritas Ulama’) berpandangan
bahwa menyilang-nyilangkan air wudlu’ diantara jenggot adalah sunnah
bila dalam berwudlu’, tetapi perbuatan tersebut adalah wajib dalam
amalan mandi junub. Kemudian beliau menambahkan: “Aku katakan: pendapat
yang paling mantap dan kuat menurut aku ialah pendapat kebanyakan Ulama’
tersebut, Wallahu Ta`ala A’lam .”
Demikianlah
kami nukilkan kepada pembaca sekalian, pendapat yang paling kuat
menurut kami dengan melihat dalil-dalil yang shahih sanadnya dari para
Ulama’ yang berpendapat seperti itu.
Kemudian
amalan sunnah yang lainnya dalam berwudlu’ adalah mengucapkan syahadat
setelah berwudlu’. Hal ini sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam dalam sabda beliau berikut ini:
“Barangsiapa
yang berwudlu’ kemudian setelahnya mengatakan: Asyhadu anlaa ilaaha
illallahu wahdahu laa syariikalah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa
rasuuluhu (artinya: Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar
kecuali Allah yang esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi
pula bahwa Muhammad itu adalah hambaNya dan RasulNya, pent), niscaya
akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan untuk dia masuk
dari mana saja yang dia suka.” Dalam riwayat lain bahwasanya Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam menyebutkan seperti itu juga tanpa
menyebutkan: Barangsiapa berwudlu maka setelahnya dia berkata: Asyhadu
alla ilaha illallah wahdahu la syarikalahu wa asyhadu anna Muhammadan
abduhu wa rasuluhu .” (HR. Muslim dalam Shahih nya, Kitabut Thaharah Bab
Al-Mustahab Aqbal Wudlu’ , dari riwayat Uqbah bin Amir Al-Juhaniy
radliyallahu `anhu ).
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa membaca bacaan ini setelah
berwudlu’ adalah sunnah ( Syarah Shahih Muslim , Al-Imam An-Nawawi, juz 3
hal. 472).
Hal
yang sangat diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
adalah kelalaian banyak orang dalam membasuh kedua telapak kakinya,
untuk membasuh telapak kaki bagian belakang. Sehingga bagian tersebut
sering tidak terkena air wudlu’ dan tentunya yang demikian ini
menyebabkan tidak sahnya wudlu’ tersebut dan berakibat pula tidak sahnya
shalat yang dilakukan sesudahnya. Demikian ditegaskan oleh Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam , ketika melihat seorang yang telah
berwudlu’ tetapi dia meninggalkan bagian di kakinya tempat yang tidak
terkena air wudlu’ sebesar satu kuku, dan hal ini dilihat oleh
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam , maka beliaupun memerintahkan
kepadanya untuk kembali berwudlu’ dengan cara yang lebih baik. Hadits
ini diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim An-Nisaburi dalam Shahih nya hadits
ke 243, dari Umar bin Al-Khattab radliyallahu `anhu . Terhadap hadits
ini Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan: “Hadits ini menunjukkan
bahwa barangsiapa meninggalkan sebagian kecil dari anggota badan yang
wajib untuk dibasuh dengan air wudlu’, maka tidak sah wudlu’nya dan
pendapat yang demikian ini telah disepakati oleh para Ulama’.” ( Syarah
Shahih Muslim , Al-Imam An-Nawawi, juz 3 halaman 480).
Bahkan
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam ketika melihat seorang pria
tidak mencuci telapak kaki bagian belakang, maka beliau mengingatkan:
“Celakalah
bagi telapak kaki bagian belakang yang tidak terkena air wudlu’ dengan
jilatan api neraka.” (HR. Muslim dalam Shahih nya jilid 1, 2, 3 Kitabut
Thaharah Bab Wujub Ghuslir Rijlain wastii`aabi jamii`i ajzaa’i mahalli
ath-thaharaah halaman 480 no. 242 dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu
).
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Demikianlah
mestinya pelaksanaan berwudlu’ sebagaimana yang diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dengan riwayat-riwayat yang
shahihah menurut penjelasan para Ulama’ Ahlil Hadits. Dan bila berbagai
pembahasan tersebut di atas kita simpulkan, maka cara berwudlu’ yang
benar itu ialah sebagai berikut:
1).
Berniat yang ikhlas karena Allah Ta`ala semata menunaikan wudlu’ untuk
mentaati Allah dan Rasul-Nya dalam beribadah untuk-Nya.
2). Mengucapkan bismillah ketika akan memulai amalan wudlu’nya.
3).
Membasuh kedua telapak tangan sampai pergelangan tangan dan
menyilang-nyilangkan air di antara jari jemari tangan. Hal ini dilakukan
sebanyak tiga kali dengan memulai dari tangan sebelah kanan.
4). Berkumur-kumur dan memasukkan pula air ke hidung sebanyak tiga kali.
5.
Membasuh muka dengan menyilang-nyilangkan pula air wudlu’ itu di antara
rambut jenggot dan cambang sehingga air wudlu’ itu merata mengenai
seluruh bagian wajah sampai batas wajah dengan telinga dan rambut
kepala. Hal ini dilakukan sebanyak tiga kali.
6).
Membasuh tangan sebelah kanan sampai ke siku dengan
menyilangkan-nyilangkan air wudlu’ di antara jari jemari tangan.
Dilakukan yang demikian ini sebanyak tiga kali.
7). Membasuh tangan sebelah kiri dengan cara yang serupa ketika membasuh tangan sebelah kanan.
8).
Mengusapkan air wudlu’ ke kepala dengan cara mencelupkan kedua telapak
tangan ke dalam air wudlu’ kemudian meletakkan keduanya di bagian depan
kepala dan di jalankan keduannya pada bagian atas rambut kepala itu ke
bagian belakang kepala (yakni ke tengkuk), kemudian keduanya
dikembalikan lagi ke depan. Kemudian langsung mengusap kedua daun
telinga dengan memasukkan kedua jari telunjuk ke dalam lubang telinga
serta mengusap dengannya bagian dalam telinga itu dan mengusapkan kedua
ibu jari ke bagian belakang daun telinga. Hal ini dilakukan sekali.
9).
Membasuh bagian kanan telapak kaki sampai ke mata kaki dengan
menyilang-nyilangkan air wudlu’ ke jari jemarinya. Hal ini dilakukan
sebanyak tiga kali.
10). Melakukan perbuatan yang sama dengan telapak kaki sebelah kirinya seperti yang dilakukan di telapak kaki sebelah kanan.
11). Mengucapkan syahadatain setelah menjalankan seluruh amalan wudlu’ itu.
12).
Disunnahkan untuk melebihkan dalam membasuh dan mengusap anggota badan
yang harus dialiri air wudlu’ dari batas minimalnya. Yaitu membasuh
kedua tangan sampai ke kedua ketiak, membasuh kepala sampai ke tengkuk
dan leher, membasuh kedua telapak kaki sampai ke kedua lutut atau paha.
13).
Menigakalikan atau menduakalikan dalam membasuh bagian-bagian badan
yang harus dibasuh dalam berwudlu’ adalah sunnah. Sedangkan yang wajib
adalah sekali bila diyakini bahwa air wudlu’ telah rata mengena seluruh
bagian tubuh yang harus terkena.
14). Disunnahkan pula untuk menjalani wudlu dengan sesuai tertib urutan yang disebutkan di atas.
Demikianlah
cara berwudlu yang benar sebagaimana yang telah diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam . Dan kita menjalankan tuntunan
tersebut, karena berwudlu’ adalah salah satu dari amalan ibadah yang
harus dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan dengan tuntunan
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam .
Cara Mandi Junub
Mandi junub adalah mandi wajib untuk membersihkan diri dari
hadats besar dengan mengalirkan air ke seluruh bagian tubuh. Jika tidak mandi junub sementara kita dalam keadaan junub, maka sholat kita tidak sah.
Sebab mandi junub :
1. Keluarnya mani, apakah karena syahwat atau karena sebab yang lainnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam dalam sabda beliau sebagai berikut :
(tulis haditsnya di Syarah Shahih Muslim An Nawawi juz 4 hal. 30 hadits ke 81)
Dari
Abi Sa’id Al Khudri dari Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam,
bahwa beliau bersabda : “Hanyalah air itu (yakni mandi) adalah karena
air pula (yakni karena keluar air mani”. HR. Muslim dalam Shahihnya.
Dalam
menerangkan hadits ini Al Imam Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf An
Nawawi menyatakan : “Dan Ma’nanya ialah : Tidak wajib mandi dengan air,
kecuali bila telah keluarnya air yang kental, yaitu mani”.
2.
Berhubungan seks, baik keluar mani atau tidak keluar mani. Hal ini
sebagaimana yang dinyatakan Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam dalam sabdanya sebagai berikut :
(tulis haditsnya di Fathul Bari Ibni Hajar jilid 1 hal. 395 hadits ke 291)
Dari
Abi Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi sallallahu alaihi waalihi
wasallam, bahwa beliau bersabda : “Apabila seorang pria telah duduk
diantara empat bagian tubuh permpuan (yakni berhubungan seks) kemudian
dia bersungguh-sungguh padanya (yakni memasukkan kemaluannya pada
kemaluan perempuan itu), maka sungguh dia telah wajib mandi karenanya”.
HR. Bukhari dalam Shahihnya.
3. Berhentinya haid dan nifas (Masalah ini akan dibahas insyaallah dalam rubrik kewanitaan).
4.
Mati dalam keadaan Muslim, maka yang hidup wajib memandikannya.
(Masalah ini akan dibahas insyaallah dalam topik pembahasan “cara
memandikan jenazah”).
Cara menunaikan mandi junub :
Karena
menunaikan mandi junub itu adalah termasuk ibadah kepada Allah Ta’ala,
maka disamping harus dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata, juga
harus pula dilaksanakan dengan cara dituntunkan oleh Rasulullah
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dalam hal ini terdapat beberapa
riwayat yang memberitakan beberapa cara mandi junub tersebut.
Riwayat-riwayat itu adalah sebagai berikut :
1. (tulis hadisnya dalam Sunan Abi Dawud jilid 1 hal. 63 hadits ke 249)
“Dari
Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam telah bersabda : Barangsiapa yang meningggalkan bagian tubuh
yang harus dialiri air dalam mandi janabat walaupun satu rambut untuk
tidak dibasuh dengan air mandi itu, maka akan diperlakukan kepadadanya
demikian dan demikian dari api neraka”. HR. Abu Dawud dalam Sunannya
hadits ke 249 dan Ibnu Majah dalam Sunannya hadits ke 599. Dan Ibnu
Hajar Al Asqalani menshahihkan hadits ini dalam Talkhishul Habir jilid 1
halaman 249.
Dengan
demikian kita harus meratakan air ketika mandi janabat ke seluruh tubuh
dengan penuh kehati-hatian sehingga dilakukan penyiraman air ketubuh
kita itu berkalai-kali dan rata.
2. (tulis haditsnya di Fathul Bari jilid 1 halaman 429 hadits ke 248)
“Dari
A’isyah radhiyallahu anha beliau menyatakan : Kebiasaannya Rasulullah
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam apabila mandi junub, beliau memulai
dengan mencuci kedua telapak tangannya, kemudian beliau berwudhu’
seperti wudhu’ beliau untuk shalat, kemudian beliau memasukkan jari
jemari beliau kedalam air, sehingga beliau menyilang-nyilang dengan jari
jemari itu rambut beliau, kemudian beliau mengalirkan air ke seluruh
tubuh beliau”. HR. Al Bukhari dalam Shahihnya hadits nomer 248 (Fathul
Bari) dan Muslim dalam Shahihnya hadits ke 316. Dalam riwayat Muslim ada
tambahan lafadl berbunyi demikian : “Kemudian beliau mengalirkan air ke
seluruh tubuhnya, kemudian mencuci kedua telapak kakinya”.
Jadi
dalam mandi junubnya Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam,
beliau memasukkan air ke sela-sela rambut beliau dengan jari-jemari
beliau. Ini adalah untuk memastikan ratanya air mandi junub itu sampai
ke kulit yang ada di balik rambut yang tumbuh di atasnya. Sehingga air
mandi junub itu benar-benar mengalir ke seluruh kulit tubuh.
3. (tulis haditsnya di Shahih Muslim Syarh An Nawawi juz 3 hal 556 hadits ke 317)
“Maimunah
Ummul Mu’minin menceritakan : Aku dekatkan kepada Rasulullah sallallahu
alaihi wa aalihi wasallam air mandi beliau untuk janabat. Maka beliau
mencuci kedua telapak tangan beliau dua kali atau tiga kali, kemudian
beliau memasukkan kedua tangan beliau ke dalam bejana air itu, kemudian
beliau mengambil air dari padanya dengan kedua telapak tangan itu untuk
kemaluannya dan beliau mencucinya dengan telapak tangan kiri beliau,
kemudian setelah itu beliau memukulkan telapak tangan beliau yang kiri
itu ke lantai dan menggosoknya dengan lantai itu dengan
sekeras-kerasnya. Kemudian setelah itu beliau berwudlu’ dengan cara
wudlu’ yang dilakukan untuk shalat. Setelah itu beliau menuangkan air ke
atas kepalanya tiga kali tuangan dengan sepenuh telapak tangannya.
Kemudian beliau membasuh seluruh bagian tubuhnya. Kemudian beliau
bergeser dari tempatnya sehingga beliau mencuci kedua telapak kakinya,
kemudian aku bawakan kepada beliau kain handuk, namun beliau
menolaknya”. HR. Muslim dalam Shahihnya hadits ke 317 dari Ibnu Abbas.
Dari
hadits ini, menunjukkan bahwa setelah membasuh kedua telapak tangan
sebagai permulaan amalan mandi junub, maka membasuh kemaluan sampai
bersih dengan telapak tangan sebelah kiri dan setelah itu telapak tangan
kiri itu digosokkan ke lantai dan baru mulai berwudhu’. Juga dalam
riwayat ini ditunjukkan bahwa setelah mandi junub itu, sunnahnya tidak
mengeringkan badan dengan kain handuk.
4. (tulis haditsnya di Fathul Bari jilid 1 halaman 372 hadits ke 260)
“Dari
Maimun (istri Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam), beliau
memberitakan bahwa Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam ketika
mandi janabat, beliau mencuci kemaluannya dengan tangannya, kemudian
tangannya itu digosokkan ke tembok, kemudian setelah itu beliau mencuci
tangannya itu, kemudian beliau berwudlu’ seperti cara wudlu’ beliau
untuk shalat. Maka ketika beliau telah selesai dari mandinya, beliau
membasuk kedua telapak kakinya”. HR. Bukhari dalam Shahihnya, hadits ke
260.
Dari
hadits ini, menunjukkan bahwa menggosokkan telapak tangan kiri setelah
mencuci kemaluan dengannya, bisa juga menggosokkannya ke tembok dan
tidak harus ke lantai. Juga dalam hadits ini diterangkan bahwa setelah
menggosokkan tangan ke tembok itu, tangan tersebut dicuci, baru kemudian
berwudlu’.
Penutup Dan Kesimpulan :
Dari berbagai riwayat tersebut di atas kita dapat simpulkan, bahwa cara mandi junub itu adalah sebagai berikut :
1. Mandi junub harus diniatkan ikhlas semata karena Allah Ta’ala dalam rangka menta’atiNya dan beribadah kepadaNya semata.
2.
Dalam mandi junub, harus dipastikan bahwa air telah mengenai seluruh
tubuh sampaipun kulit yang ada di balik rambut yang tumbuh di manapun di
seluruh tubuh kita. Karena itu siraman air itu harus pula dibantu
dingan jari jemari tangan yang mengantarkan air itu ke bagian tubuh yang
paling tersembunyi sekalipun.
3.
Mandi junub dimulai dengan membasuh kedua telapak tangan sampai
pergelangan tangan, masing-masing tiga kali dan cara membasuhnya dengan
mengguyur kedua telapak tangan itu dengan air yang diambil dengan
gayung. Dan bukannya dengan mencelupkan kedua telapak tangan itu ke bak air.
4. Setelah itu mengambil air dengan telapak tangan untuk mencuci kemaluan dengan telapak tangan kiri sehingga bersih.
5. Kemudian telapak tangan kiri itu digosokkan ke lantai atau ke tembok sebanyak tiga kali. Dan setelah itu dibasuh dengan air.
6. Setelah itu berwudlu’ sebagaimana cara berwudlu’ untuk shalat.
7.
Kemudian mengguyurkan air dari kepala ke seluruh tubuh dan
menyilang-nyilangkan air dengan jari tangan ke sela-sela rambut kepala
dan rambut jenggot dan kumis serta rambut mana saja di tubuh kita
sehingga air itu rata mengenai seluruh tubuh.
8.
Kemudian bila diyakini bahwa air telah mengenai seluruh tubuh, maka
mandi itu diakhiri dengan membasuh kedua telapak kaki sampai mata kaki.
9. Disunnahkan untuk tidak mengeringkan badan dengan kain handuk atau kain apa saja untuk mengeringkan badan itu.
10.
Disunnahkan untuk melaksanakan mandi junub itu dengan tertib seperti
yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam.
Demikianlah
cara mandi junub yang benar sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam dan juga telah dicontohkan
oleh beliau. Semoga dengan kita menunaikan ilmu ini, amalan ibadah
shalat kita akan diterima oleh Allah Ta’aala karena kita telah suci dari
junub atau hadats besar. Amin Ya Mujibas sa’ilin.
1.
Tentang pengertian orang yang mukalaf , artinya orang yang telah baligh
dari sisi usianya dan telah mumayyiz dari sisi kemampuan berfikirnya.
Mumayyiz itu sendiri artinya ialah kemampuan membedakan mana yang
bermanfaat baginya dan mana pula yang bermudarat.
2. Tentang pengertian hadatas besar , telah diterangkan dalam Salafi ed. 1 th. V hal. ?
3. Ar Raudhatun Nadiyah, Al Allamah Shiddiq Hasan Khan, hal. 35.
4. Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab, Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf An Nawawi, jilid 2 hal. 153, Darul Fiker Beirut Libanon, cet. Th. 1417 H / 1996 M.